Bab Empat

988 76 9
                                    

SUDAH ke sembilan kalinya melihat jam tangan dan waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore tapi Arfan belum kunjung tiba juga.

Tadi Zeenda sempat mengajak ketiga sahabatnya untuk menemani mengerjakan naskah drama bersama Arfan, hanya saja mereka mempunyai jadwal masing-masing. Alhasil, Zeenda menunggu sendirian di tepi masjid dengan laptop yang menunjukan naskah yang hampir selesai.

Sudah berlalu dua jam sejak bel pulang sekolah, Arfan belum tiba juga. Bahkan gadis itu lupa sudah menghabiskan berapa selawat lantunan salah satu gurunya di sekolah. Teringat sesuatu, Zeenda hanya mampu menghela napas, berusaha maklum.

Saat istirahat, ia sempat melihat Arfan berbincang dengan Raffi dan sepertinya sangat serius.

Mungkin saja Arfan sedang ada urusan mendadak. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk pulang. Berada terlalu sore di sekolah bisa-bisa Bunda khawatir mencarinya.

Ia mematikan laptop, lalu memasukkannya ke dalam tas jinjing. Gadis itu mendesah lelah, jika tahu akan seperti ini lebih baik Zeenda memilih untuk pulang bersama sahabatnya.

***

"Abi, Adit ada urusan." Arfan merengek terus pada Raffi.

"Sebentar saja." Langkah Raffi tetap dan tidak berhenti sama sekali.

"Abi, apa penting banget?"

"Menurutmu?"

"Zeenda pasti nungguin, Bi."

"Percaya diri banget kamu." Senyum menggoda Raffi timbul.

"Abi...." Arfan menghembus napasnya yang berat. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Bicara bahwa dirinya punya janji dengan Zeenda pun tak akan bisa meluluhkan hati sang ayah.

Raffi bersikukuh mengajaknya ke suatu tempat yang bahkan Arfan sendiri tidak tahu mau dibawa ke mana. Yang pasti sang ayah ingin membicarakan sesuatu dengannya dan satu orang lainnya. Yang entah siapa itu.

"Mana orangnya, Bi?" Saat mereka sudah sampai tujuan, Arfan bertanya. Sedari pulang sekolah, sang ayah langsung melajukan mobilnya ke sini.

"Tunggu aja, dia pasti dateng."

Arfan berdecak sebal. Dalam hati ia merasa ingin menggigit ayahnya yang menjengkelkan tapi sayang.

"Nah, itu dia...." Raffi buka suara saat seseorang yang dimaksud datang menghampiri.

Arfan yang duduk dengan posisi membelakangi seseorang itu akhirnya menoleh. Tubuhnya lantas menegang melihat seseorang yang dimaksud Raffi, terlebih saat senyum yang paling Arfan benci disuguhkan padanya.

"Abi, kalau tau dia yang akan datang, Adit nggak bakal nemenin Abi." Suara Arfan mendatar, inginnya ia berteriak meluap-luap tapi kemudian teringat bahwa lawan bicaranya ini adalah orang tua sendiri.

"Nak, tunggu dulu."

"Bi, Adit udah bilang berapa kali kalo Adit nggak mau berurusan sama dia lagi!" Pemuda itu menyentak tanpa sengaja.

"Raditya, masalahmu harus diselesaikan!" Tegas Raffi.

"Masalah Adit udah selesai, Bi. Sejak dia menghancurkan harapan Adit." Telunjuk Arfan menuding seseorang yang dimaksud sejak tadi--Khairani.

"Adit, Rani harus gimana supaya Adit maafin Rani?" Khairani memandang mantan calonnya dengan sendu.

Arfan tersenyum miring. "Kau mau tahu apa yang dapat membuatku memaafkanmu?"

Khairani mengangguk kaku, agak risih dengan kalimat Arfan yang baku.

"Pergilah dari hadapanku dan jangan pernah kau tunjukkan wajah tanpa dosamu itu lagi."

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang