Bab Enam

829 75 11
                                    

"BAGAIMANA, Neng?" Raffi menyadarkan Zeenda dari keterkejutannya.

Coba untuk menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Gadis itu tersenyum ramah, meski hatinya merasa tak nyaman dengan situasi ini. "Maaf, Ustad, Bu, Kak, saya harus pulang. Bunda pasti nyariin. Makasih banyak untuk kebaikan keluarga ini ke saya tapi maaf saya belum bisa memberikan jawaban."

"Oh, iya sama-sama." Sarah menyentuh bahu Zeenda. "Neng pulang naik apa?"

"Naik angkutan, Bu."

"Biar Ustad Raffi anterin, yah. Ini udah sore, nggak baik anak perempuan jalan sendirian sore-sore."

Zeenda kembali tersenyum. "Nggak perlu khawatir, Bu. Saya bisa sendiri."

"Ya udah, kalau Neng nggak mau saya anter, saya telponin ojek langganan saya, ya."

Belum sempat Zeenda menjawabnya, Raffi sudah terlanjur memasang telinga di hadapan layar ponselnya. Diam-diam gadis itu memperhatikan mimik wajah guru yang mendidiknya selama ini. Dalam hati ia merasa tak enak juga karena sudah mengganti topik secara sepihak, padahal itu tidak boleh.

"Alamatnya di mana, Neng?" Raffi bertanya, mengagetkan Zeenda yang termenung.

"Jalan Jabaru, Ustad."

Hening beberapa saat hingga Sarah datang dengan sebuah tas jinjing warna merah di genggaman. "Ini untuk orang tua kamu di rumah ya, Neng."

"Apa ini, Bu?" Baru saja Zeenda akan membukanya, Sarah segera menahan.

"Oleh-oleh dari sini, buka di rumah aja, ya, ada beberapa camilan." Mau tidak mau, Zeenda menurut.

"Gimana tadi, jadi latihan?" Raffi mengakhirkan pertanyaannya dengan senyum.

"Jadi, Ustad. Tapi tadi baru perkenalan aja sama arahan karakter."

"Kapan-kapan keluarga saya ingin silaturahmi ke kediaman kamu. Apa keberatan?"

Zeenda tersenyum dan segera menggeleng. "Nggak apa-apa Ustad. Malah saya seneng."

Hening kembali, tak beberapa lama tukang ojek yang dipesan pun datang, Zeenda pamit pada keluarga Raffi kecuali Alarya yang masih di dalam kamarnya.

"Saya nitip salam aja buat Aya ya, Bu. Wassalamu'alaikum." Zeenda mencium tangan Sarah kemudian Raffi dan di hadapan Arfan gadis itu hanya tersenyum singkat.

"Cepet sembuh ya, Kak. Maaf, saya nggak bisa ngasih apa-apa buat Kakak." Pamit Zeenda. Arfan termangu mendengar perkataan itu.

Zeenda berbalik dan segera menaiki motor si tukang ojek. Yang terakhir kali dilihat keluarga Raffi hanya senyum manis dari Zeenda.

"Jadi itu yang namanya Zeenda?" Sarah memulai percakapannya setelah mereka memasuki rumah. "Kalau menurut Umi, dia anaknya baik, santun, juga rajin bebenah kayaknya."

"Dalam bakat menulis juga Abi suka. Ada gaya bahasanya tersendiri." Raffi tersenyum menggoda pada Arfan. "Jadi gimana?"

Arfan menatap kedua orang tuanya, dalam. "Sebenernya, Adit berencana mau ngelamar. Tapi Adit sadar kalo Adit nggak punya apa-apa buat dibanggain di depan orang tua Zeenda. Makanya Adit diem aja sampe sekarang. Adit suka sama Zeenda, Mi, Bi. Apa lagi pas Abi nyuruh Adit jadi asisten sutradara Zeenda, senengnya bukan kepalang."

Hening sejenak. Raffi dan Sarah mengulum senyum maklum, dalam hati keduanya sangat bersyukur karena dalam mencintai lawan jenisnya, Arfan memilih untuk langsung melamar.

"Oke, malam ini kita ke rumahnya. Abi sebelumnya udah nyatet alamat Zeenda di ponsel." Raffi kemudian bangkit, lalu menepuk bahu anaknya. "Persiapkan diri ya, Nak. Salat Asar dulu sana, biar hati kamu kembali dimantapkan."

Sepeninggal Raffi, Arfan melongo tak percaya, kalbunya berbunga, seolah rasa bahagia yang tengah melandanya ini merupakan sebuah cuaca yang bagus.

"Umi bangga sama kamu. Kamu berani menyatakan perasaan lewat sebuah lamaran." Tutur Bu Sarah sambil memeluk Arfan.

Arfan membalas pelukan ibunya. Diam-diam ia menangis. Merasa untuk ke sekian kalinya ia bersyukur karena telah dilahirkan di keluarga ini.

***

"Dari mana, Je?" Delia--sang ibu langsung bertanya ketika melihat Zeenda melepas sepatunya.

Sadar akan pertanyaan bundanya, Zeenda tersenyum dan mencium punggung tangan Delia dengan penuh rasa hormat.

"Abis nganterin parsel buat orang sakit, Bun. Mau pulang, eh malah disuruh ikut makan siang sama keluarganya. Maaf Jeje pulang telat."

"Siapa yang sakit?" Delia penasaran.

"Pujaan hati Jeje, Bun. Kasian deh dia kena tipus. Sering mikirin Jeje kali, ya." Zeenda penuh percaya diri.

"Hah? Pujaan hati?"

"Ah, Bunda kaya nggak kenal aja. Itu loh, Akang Arfan." Zeenda tersenyum menggoda. Ia menyerahkan tas jinjing merah yang sempat diberikan Sarah tadi. "Ada titipan dari mamah mertua, Bun."

"Oh, sekarang mainannya anak ustad ya. Udah bukan anak basket lagi." Delia mencubit pipi anak gadisnya. "Apa ini?"

"Mamah mertua ngasih amanah untuk nggak buka dulu. Jadi Jeje nggak tau."

"Ya udah sana, ganti baju, terus makan. Ada Ayah di meja makan."

Pendaran mata Zeenda berbinar. "Seriusan?" Zeenda segera melangkah cepat memasuki ruang makan, sesampainya di sana dia segera memeluk ayahnya yang sedang menyantap makanan tak lupa ciuman jahil Zeenda layangkan pada kedua pipi Khoiril--adiknya yang langsung merenggut saat sang kakak menciumnya.

***

Zeenda melipat sajadahnya, gadis itu baru melaksanakan salat Magrib. Perlahan, kakinya melangkah menuju rak yang berisi buku-buku islami, Alquran dan juga kitab selawat. Zeenda mengambil salah satu kitab selawat dan membacanya dengan penuh rasa takzim, jangan lupakan suara indahnya yang menggema ke sudut ruang kamar.

Sudah beberapa bait lantunan pujian ia sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Ia begitu tersihir untuk segera menyelesaikan selawatannya.

Tak lama, sang ayah memanggil. Gadis itu segera menaruh kitab tadi di tempat asalnya, lantas keluar dari kamar.

"Kenapa, Yah?" Ketika kakinya menapaki lantai ruang tengah, gadis itu membelalakkan matanya.

"Ini, ada keluarga Ustad Raffi, guru bahasa kamu di sekolah." Sang ayah begitu tenang, sedangkan Zeenda sudah gemetaran.

Gadis itu menoleh dan mendapati senyum manis dari Arfan. Mata lelaki itu sangat indah, bahkan melebihi keindahan Pantai Lombok. Seketika Zeenda merasakan kepakan sayap kupu-kupu mengitari wajahnya yang bersemu merah.

Jika saja ada orang yang mampu menggantikan posisinya saat ini, mungkin ide yang bagus untuk menerima. Setidaknya Zeenda butuh sedikit waktu untuk menetralkan detakan jantung yang melebihi nalar. Namun kemudian saat sadar bahwa ia tidak rela membagi rasa, Zeenda langsung menggemakan penolakan dengan kencang di dalam kepala.

Sejak mengagumi lelaki yang ada di hadapannya ini, ia tidak pernah sekali pun dapat masalah soal bagian dalam tubuhnya. Entah kapan pastinya, Zeenda tahu bahwa sekarang ia sudah didiagnosa terkena racun cinta. Segala asmara membuyarkan akal sehat sampai Zeenda melupakan jati dirinya sebagai manusia yang pada hakikat mampu berpikir dengan baik.

Gadis itu mampunya hanya bisa mengucapkan perpisahan pada benak waras.

Allah, manisan apa lagi yang kau buat untuk menyempurnakan imanku? Batin Zeenda berteriak sangat anarkis

*****
• bertalian •

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang