SEPASANG mata itu mencuri pandang ke arah ruang tamu, di mana sang ayah sedang sibuk berbincang dengan satu orang lainnya. Khairani memasangkan tingkat kepekaan yang tinggi pada alat dengarnya, gadis itu harus bisa menguping apa saja yang direncanakan Ishak untuk keluarga Raffi.
"Ketikkan saja itu, aku akan memberimu separuh ladangku di Palangkaraya sebagai imbalannya."
Satu pria yang ditujukan kalimatnya tadi, membalas dengan senyum getir. "Kau sampai berbuat sejauh ini. Ku harap kau tidak menyesal nanti, Ishak."
"Tidak. Tak akan pernah ada penyesalan dalam diriku. Raffi harus jatuh, beserta semua yang dibanggakannya, termasuk keluarga."
"Jangan kejam seperti itu. Dulu Raffi menjatuhkanmu saja, tidak sampai menyeret Khairani. Sekarang kau tega menarik Arfan, Alarya, bahkan Sarah?" Alis lawan bicaranya menukik.
Ishak berdecak sebal, begitu Firdaus--rekan kejahatannya ini membawa nama gadis yang dulu amat ia cintai. "Aku tak peduli. Seharusnya Sarah bisa berpikir panjang mengenai resiko menerima Raffi sebagai suami."
Firdaus tertawa meremehkan. "Dan seharusnya kau bisa berpikir panjang mengenai resiko meniduri Eva. Kau tahu, Sarah benar-benar kecewa saat itu."
"Hei!" Ishak menegur. "Itu sebuah kesalahan. Aku tidak benar-benar mempunyai niat untuk tidur dengannya."
"Lalu, Khairani pun kesalahan?" Mata Firdaus kini menambat pada sosok yang dipikirnya sudah aman dari pengawasan mata. Yang dituju mendadak kaku seketika. Tubuhnya membeku mendengar kalimat lawan bicara ayahnya.
"Jika saja boleh ku katakan, maka aku akan berkata iya." Ishak menyandarkan punggung di kepala sofa. Pandangannya ikut terjatuh pada Khairani yang berdiri bak patung. "Tapi aku bahkan tidak menyesali keberadaannya. Dia cukup bermanfaat."
Tanpa sadar, air mata Khairani menetes. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya kali ini. Gadis itu hanya berniat mendengar rencana buruk ayahnya terhadap keluarga yang dulu menyambutnya dengan hangat. Alih-alih sekarang ia begitu dikejutkan dengan fakta yang begitu ia benci.
Khairani cukup mahfum, dengan segala sifat sang ayah yang melatarbelakangi perilakunya terhadap Khairani, gadis itu tahu kalau Ishak bukanlah figur yang tepat disebut ayah. Tapi Khairani berusaha berpikir baik. Meskipun hatinya selalu terkerat saat Ishak dengan kentaranya menunjukkan ketidaksukaan, gadis itu tetap menghormati sang ayah. Terlebih jika memang benar Ishak membenci Khairani karena gadis itu hadir akibat kesalahan, tetap saja Khairani menyayanginya dan berterima kasih sudah mau mempertahankan ia yang pada dasarnya anak haram.
"Ayah, jadi Rani benar-benar kesalahan?" Pandangan gadis itu memburam. "Jadi, itu sebabnya Ayah selalu jahat sama Rani?"
Ishak dan Firdaus hanya memandangi tanpa rasa belas kasihan. Bagi kedua pria dewasa itu, bisnis kelam adalah alat yang ampuh untuk menggelapkan hati nurani. Bahkan Ishak pun bergeming, pria itu malah berharap Khairani bisa segera enyah. Sudah cukup tujuh belas tahunnya begitu berat karena merawat anak itu.
"Kau sudah dengar dan menganalisis sendiri. Aku mengakui bahwa untuk seorang anak berusia tujuh belas, kau sangat hebat." Ishak kini berdiri menghampiri anaknya yang sudah banjir air mata. Dalam keadaan Khairani yang malang itu pun tak mampu mengetuk hati ayahnya. "Kau memang anakku, Rani."
Mengganjal sekali mendengar Ishak menyebut Khairani sebagai anaknya. Gadis itu sudah muak untuk dibohongi, ia merasa menyesal dengan Sang Maha Kuasa, mengapa ia harus tercipta dari benih pria brengsek di depannya ini.
"Rani harap, walau dalam keadaan sekarat sekali pun, bukan wajah Ayah yang ada dalam pandangan Rani. Ayah begitu rendah."
Tangan Ishak terangkat lalu mendarat sempurna pada salah satu pipi anaknya. Ia menampar dengan kencang, emosi naik ke ubun-ubun mendengar perkataan anaknya yang sederhana namun menghina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...