"KAMU kenapa?" Arfan memperhatikan raut wajah Khairani yang gugup.
"Rani cuma mikir aja, apa dengan begini Rani durhaka sama Ayah?"
Terdiam, lelaki itu mengalihkan pandang ke jalan setapak. "Ayah kamu melenceng dari agama, jadi kamu nggak usah mikirin hal kayak gitu, insya Allah kamu di jalan yang benar."
"Lagian juga Kak Rani, niat Kakak ngebantu kita bisa jadi dapet pahala." Alarya ikut bersuara. Awalnya ia sensi begitu melihat kedatangan Khairani ke rumahnya kemarin. Tapi kesensiannya menguar begitu melihat sosok lain yang hadir bersama Khairani. Kesimpulan yang bisa ditarik gadis itu adalah; Khairani bukan modus.
Lagi pula, kalau modus keterlaluan sekali. Sampai bela-bela menghampiri ke Mesir.
Mendengar kalimat penenang dari kedua insan yang sedang bersamanya ini mengundang senyum dari Khairani. Ia bersyukur, setidaknya seburuk apa pun ia, Allah tetap mengarahkan hati keluarga Raffi untuk tetap baik padanya.
"Selamat siang, ada perlu apa adik-adik kemari?" Seorang pria bertubuh tinggi menyambut kehadiran mereka dalam bahasa Arab.
"Paman, maaf sebelumnya, kami boleh bertanya?" Arfan yang mengambil alih, pengalaman pernah bersekolah dasar di Madinah membuatnya bisa fasih berbahasa Arab.
"Tentu saja boleh."
"Apa ada laporan yang masuk dari pihak kepolisian Indonesia?"
Pria itu mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan lelaki di hadapannya karena terkesan langsung pada inti. Menguasai emosi sejenak, pria itu mengulas senyum ramah.
"Kami tidak menerima laporan apa pun kecuali tindak kejahatan." Pria itu memperhatikan ketiganya dengan teliti. Janggal. Satu lelaki dilingkari dua gadis. "Kalau boleh tahu, mengapa adik-adik menanyakan hal itu?"
"Ah, begini, Paman, kisahnya akan cukup panjang, apa kita bisa menjelaskannya? Paman ada waktu?"
Alarya dan Khairani terperanjat begitu menangkap suara Arfan. Lelaki ini. Apa tidak tahu adat? Apalagi sekarang ini mereka sedang di kepolisian setempat.
"Silahkan masuk kalau begitu." Dan jawaban pria di hadapan mereka sukses membuat kedua gadis itu hampir pingsan. Pelet apa yang dipakai Arfan, sampai kepolisian percaya saja dengannya.
Sedangkan Arfan, mengulum senyum manis pada keduanya saat mereka mengikuti langkah pria itu. Baginya, mata tidak pernah berbohong. Jika diri jujur, mata akan mengungkapkannya, begitu pun dengan dusta. Tak ada penipuan pada mata.
***
"Uni!"
Zeenda tersentak kaget mendapati Khoiril yang sudah merangkulnya dari belakang, disertai suara kencangnya.
"Ih, kamu ngagetin, deh." Mata Zeenda memutar.
"Uni bengong aja dari tadi. Kenapa?" Khoiril menduduki diri di samping sang kakak. Merasa aneh bagi bocah itu. Biasanya Zeenda adalah anggota kedua di rumah ini yang berbuat ulah dengan suara lengkingnya. Entah untuk sekadar memanggil orang atau bernyanyi.
"Sejak kapan kamu pengen tau?" Alis Zeenda naik sebelah.
"Ya, aneh aja. Biasa paling berisik." Khoiril menimpali dengan kalem. Sedangkan yang dimaksud 'berisik' sudah tersinggung. Gadis itu dengan cepat menggelitiki sang adik saking sebalnya.
"Siapa yang kamu maksud berisik?"
Sambil tertawa, Khoiril menjawab. "Kita lagi berdua, masa iya aku ngarahin kalimat aku ke setan?"
Zeenda pun menghentikan kegiatannya. Ia menatapi sinis sang adik yang mengatur napas kelelahan. "Setannya ya kamu."
"Untuk apa aku ngehujat diri sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...