Bab Sebelas

744 59 4
                                    

TANGANNYA sibuk berkutat dengan pena yang ia coretkan di atas buku setebal kelingking. Gadis itu terlalu fokus terhadap objek di hadapannya sehingga tak sadar seorang lelaki mendadak datang dan tengah memperhatikannya secara diam, saksama.

Kalau boleh lelaki itu menebak, pastilah Zeenda tengah dalam masa menstruasi. Akhirnya lelaki itu memilih untuk bungkam, masih tetap sambil memperhatikan. Hingga pada coretan terakhir--yang melukiskan nama seseorang dalam bahasa Arab--gadis itu berhenti. Menyadari ada perhentian, lelaki itu menengadah dan mendapati ada namanya yang terlukis di buku tersebut.

Gadis yang sejak tadi ia perhatikan pun mendongak dan tersenyum lembut. Beberapa saat kemudian Zeenda meringis, mendapati sebuah sarung terlempar di hadapan wajahnya. Ia mendongak, ingin melontarkan cacian pada seseorang yang berani menghalangi pemandangan indahnya dan yang tertangkap dalam pandangannya hanya punggung tegap Arfan.

"Jangan terlalu terpesona sama aku, takut menimbulkan fitnah. Pandangan kamu itu nggak baik." Arfan tegas membuat Zeenda segera mengatupkan bibirnya.

Apa salahnya ia menatap masa depannya sendiri?

"Oh, kata Abiku beliau menanti jawaban. Jadi, apa keputusan kamu?"

Gadis itu tersenyum hangat, dengan satu tarikan napas ia menjawab yakin, seyakin perasaannya. "Saya terima lamarannya, Kak."

Sedikit geli ketika Zeenda mengucapkannya tapi ia senang, sebab sudah tidak ada lagi beban dalam hati dan pikirannya.

Arfan menoleh sebentar dengan alisnya yang bertautan dan memasang wajah yang menyebalkan minta ditinju. "Cuma itu saja? Kamu nggak punya kata-kata yang lebih panjang?"

Dasar maniak!

Dia itu maunya apa sih? SubhanAllah, perkataannya itu loh, tidak lebih dari sebuah penghinaan.

Batin Zeenda berteriak sekerasnya, hingga gadis itu hanya mampu menghela napas berat karena ingin berkata kasar namun tidak tega. Akhirnya ia berusaha untuk husnuzan. Kembali memasang senyum ceria pada Arfan.

"Jadi, karena kau telah memberikan jawabannya, maka sekarang tinggal aku yang harus bertugas. Selesaikan pendidikan kamu dengan nilai yang memuaskan."

Hati Zeenda geli mendengarnya. Semoga saja Arfan tidak membual, seperti kebanyakan lelaki zaman sekarang yang suka mengumbar janji tanpa memberi bukti dan yang perempuan selalu menuruti meski ujungnya dia selalu patah hati.

Seketika ide terlintas dalam pikiran Zeenda yang jahil. "Menurut saya nggak akan secepat itu kita menikah, Kak."

Arfan memutar tubuhnya, sehingga mereka menatap satu sama lain. Zeenda bangkit dari duduk dan menyejajarkan wajah keduanya. Petugas perpustakaan yang kebetulan sedang mengecek data murid yang selalu berkunjung pun berdeham.

"Ingat dosa, ya!" Perintah pria paruh baya itu dengan senyum miring.

Arfan dan Zeenda menoleh dengan senyum tidak enak. Tangan Arfan terangkat satu, kode untuk menenangkan sang petugas bahwa mereka akan tahu batasan.

"Apa maksud kamu?" Arfan kembali fokus. Gadis itu hanya tersenyum geli melihat raut wajah khawatir Arfan yang menurutnya sangat bodoh.

"Soalnya pas lulus SMA saya mau melanjutkan ke perguruan tinggi negeri di Belanda." Ia memasang senyum manis pada lelakinya. Bisa dia lihat, kini rahang Arfan mengeras. "Jadi, intinya kamu harus menunggu lebih lama untuk memiliki saya, Kak."

"Oke, kalau kamu ngebuat aku nunggu lebih lama, jangan salahkan aku ketika kamu kembali kamu udah terhapus dari hati." Ancaman Arfan membuat Zeenda mendongak kaget menatapnya, lelaki itu berbalik dan melangkah menjauh.

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang