Bab Sembilan

798 69 10
                                    

MATANYA melirik kaget ke arah seorang pria bertubuh tegap yang selama ini ia kenal sebagai kakak kandungnya.

"Uda Syam?!"

Mengapa kakaknya ada di Bogor?

Bukankah kakaknya sedang kuliah semester delapan?

Harusnya ia sibuk membuat skripsi untuk sidang. Terlebih sidang kuliah di kampus luar negeri terbilang sulit.

Apa Syamsul tidak mempersiapkan diri?

"Je, kamu berhutang penjelasan sama Uda." Syamsul menatap Zeenda tajam.

"Kamu, beraninya kamu melamar adik saya di saat saya sedang ingin membahagiakannya." Dagunya menuding Arfan, membuat lelaki itu diam tak berkutik karena terkejut akan kehadiran calon iparnya.

Zeenda menghela napas pasrah. Sister complex Syamsul kumat lagi. "Uda, jangan buat keributan di sini. Malu tau." Segera bangkit, ingin menghampiri Syam tapi langkahnya tertahan oleh lengan Alarya yang menahannya.

Dengan begitu, lelakinya bangkit dari duduk dan menghampiri Syamsul. Ia meraih pergelangan tangan Syamul dan mencium punggung tangannya dengan hormat, sampai pria itu kaget dibuatnya.

"Assalamua'laikum, saya Arfan, saya berniat menjadikan adik Uda istri saya. Apa Uda memberi restu?" Arfan mendongak dan tersenyum, Syamsul gelagapan dibuatnya. Tidak enak ia berdeham.

"Wa'alaikumussalam, kamu nggak perlu sampe salim tangan saya segala." Syamsul menepuk bahu Arfan pelan. Pria itu sudah memikirkan langkah apa yang bisa ia ambil untuk membuktikan ketulusan Arfan. Perjalanan Belanda- Indonesia yang memakan waktu cukup lama itu tidak digunakan olehnya secara sia-sia. Dalam hati, Syamsul bersorak, mensyukuri otaknya yang begitu cerdas untuk memikirkan langkah ini.

"Saya akan memberi restu asal kamu bisa--" Pria itu membisikkan sesuatu tepat di telinga Arfan.

Beberapa detik menunggu, Arfan melotot sebagai respon. Syamsul sudah menjauhi telinga Arfan dengan senyum kemenangan.

Perlahan ekspresi Arfan mengendur. "Hanya dua 'kan, Uda?"

Syamsul mengangguk mantap. "Kamu terima atau nggak? Kalau nggak, kamu bisa cari gadis lain untuk kamu nikahi."

Mendengarnya, Arfan segera menyetujui. "Saya akan jalankan amanahnya."

Zeenda masih mengerutkan kening, tidak mengerti. "Uda apa-apaan, sih?! Jeje aduin ke Ayah kalo Uda campur tangan sama urusan Jeje."

Ia menghela napas. Emosinya selalu labil bila dihadapkan dengan sang kakak. Gadis itu terlanjur merusak image.

Tersenyum hangat pada keluarga Ustad Raffi, Zeenda pun menunduk hormat. "Ustad, Bu, Aya, maaf, hari ini Jeje belum bisa kasih kepastian. Insya Allah besok Jeje konfirmasi jawabannya. Jeje harus pergi, maaf sebesar-besarnya karena kedatangan kakak saya, semua jadi kacau. Wassalamu'alaikum." Segera mengambil langkah seribu untuk pergi tanpa menunggu jawaban dari keluarga yang menjadi lawan bicaranya. Gadis itu mengharapkan ampun karena sudah bersikap tanpa adab.

Syamsul mengerutkan kening, merasa tersindir dengan ucapan Zeenda.

Apa-apaan itu adiknya?

Jadi kedatangan ia ke sini hanya sebagai pengacau?

Sial. Padahal Syamsul mempunyai niat baik. Memang adiknya yang satu itu selalu berpura-pura bisa segalanya. Untung sayang.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Mereka membalas serentak. Segera, sebelum semakin jauh, Arfan bangkit dan berlari menjemput Zeenda.

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang