NAPASNYA berhembus dengan tujuan melepas lelah yang bersemayam sejak beberapa waktu lalu. Arfan menatap ruangan di mana baru saja ia masuk ke dalamnya. Barusan ia melakukan tes yang dijalankan oleh pihak kepolisian guna menyelidiki kebenaran mengenai berita yang sudah tersebar tentang sang ayah.
Lelaki itu mendudukkan diri di samping kedua orang tuanya yang lebih dulu memasuki ruangan penuh sial itu. Selanjutnya sang adik yang mendapatkan bagian.
"Adit, kamu nggak apa-apa?" Sarah mengarahkan kepala Arfan agar menghadap padanya. Terlihat paras yang tampan itu kini memucat dengan banyaknya keringat yang keluar. "Kamu sakit, Nak?"
Arfan menggeleng, menurunkan tangan sang ibu perlahan dari wajahnya. "Adit baik-baik aja, Umi." Senyumannya mengembang dengan lemah.
"Kamu serius, Dit?" Raffi ikut memperhatikan perubahan pada anaknya.
"Iya, Bi." Arfan masih mempertahankan senyumannya. Meski ia rasa kepalanya akan pecah saking peningnya, tetap saja Arfan tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Lepas melakukan tes ini kita sudah diperbolehkan pulang. Tinggal menunggu hasil riset saja." Raffi membuka suara. Istri dan anak sulungnya hanya mengangguk sebagai respon.
"Umi harap semua ini cepat selesai." Kedua tangan Sarah memegang Raffi dan Arfan satu-persatu.
Tak lama, Alarya keluar dengan wajah penuh peluh sama dengan kondisi Arfan saat menunjukkan wajahnya tadi. Gadis itu merenggut sebal karena merasa ruangannya penuh intimidasi, padahal hanya sebatas tes tanya-jawab.
"Saudara Raffi, anda boleh pulang. Kami akan segera memverifikasi data yang sudah kami peroleh. Untuk kabar lebih lanjut, nanti akan kami hubungi."
"Tolong bekerja secara profesional ya, Pak. Jangan menerima segala jenis apa pun yang datangnya dari luar. Anda polisi, pedoman rakyat." Alarya berkata dengan nada yang dibuat semanis mungkin. Padahal, siapa pun yang mendengar kalimatnya pasti sudah bisa menebak bahwa gadis itu tengah menyindir.
Lantas keluarga Raffi mulai diantarkan ke kediaman menggunakan mobil polisi.
***
"Je, nggak jadi nganterin rendang?" Delia memberondongi sang anak dengan pertanyaan begitu mendapati Zeenda pulang masih dengan kondisi yang sama saat berangkat. Tas jinjing yang berisi tempat bekal pun masih berat.
Gadis itu menatap Delia dengan pandangan yang sulit diartikan. "Bun, berita terhangat yang lagi marak di sosial media sekarang apa?"
Delia mengerutkan kening, tak paham tapi mencoba untuk meladeni. "Setahu Bunda tentang salah satu akun YouTube yang punya banyak pelanggan. Sekitar enam belas jutaan."
"Bukan soal entertainment, Bun."
"Maksudnya kayak bencana alam?"
Zeenda menggeleng. "Coba tentang kejahatan? Politik?"
"Kejahatan? Politik?" Delia semakin tidak paham. Melihatnya, Zeenda segera membuka ponselnya dan mengetik beberapa kata yang ia yakini sebagai kunci untuknya mengetahui masalah ini.
"Kamu kenapa, sih? Kok mendadak nanya berita? Biasanya juga paling seneng kalo dapet info tentang Fatih Sef--"
"Bunda, liat ini!" Zeenda sontak heboh, jantungnya bertalu tak menentu saat membaca berita utama yang baru saja ditulis.
"Raffi? Ustad Raffi?" Delia juga sama terkejutnya sampai menutup mulut tidak percaya.
Zeenda sudah tidak bisa berpikir jernih. Jadi ini penyebabnya rumah Arfan begitu heboh tadi siang. Banyaknya wartawan, seseorang yang memanaskan suasana hingga sirine mobil yang memekakkan berhasil direkam semuanya dalam memori Zeenda. Gadis itu menggigit bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...