KHAIRANI mendobrak pintu rumah dengan keras. Ia tidak peduli bahwa penghuni lain di rumah ini akan mengomeli dirinya. Terpenting sekarang, Khairani hanya ingin menumpahkan segala emosinya pada benda-benda di kamarnya.
"Pintar sekali." Komentar sebuah suara dengan nada menyindir membuat langkah gadis itu berhenti.
Tanpa aba-aba, dalam sepersekian detik gadis itu langsung menghampiri sosok yang menjadi pelaku yang menyindirnya. "Ayah, Khairani mau Ayah juga jatohin Zeenda. Khairani mohon, Yah."
Ishak--sang ayah pun menautkan kedua alis karena bingung. "Apa maksud kamu?"
Khairani berdesis. "Jatohin Zeenda, Yah, jatohin Zeenda!" Suaranya mulai meninggi karena paham bahwa ayahnya memperlama waktu.
"Ayah akan melakukan apa yang ingin Ayah lakukan. Kamu nggak bisa ngatur Ayah untuk melakukan sesuatu." Ishak menyeruput kopinya dengan santai tapi nada yang ia gunakan terkesan dingin dan datar.
"Dia nampar Rani, Yah!"
Suara meninggi kedua kali milik anaknya membuat Ishak terdiam, berhenti menyeruput kopinya yang mengepul. Matanya menatap sang anak dengan tajam. "Alibimu tidak bohong, kan?"
Tak tahan meluapkan emosinya, Khairani berteriak kencang, perasaan buruk itu yang semula teredam pun langsung menguar. "Aku benci dia, Ayah!"
Ishak hanya memperhatikan sikap anaknya tanpa berniat menggubris. Pandangannya yang menaungi kantung mata terlihat sekilas sangat lelah tapi Ishak merupakan satu di antara banyak pria yang licik di dunia bisnis.
"Sudah puas meluapkannya?" Tanya Ishak--lagi--dengan nada menyindir.
Khairani hanya mampu menatap ayahnya dengan memelas. Berharap apa yang diinginkannya sejak beberapa hari lalu dapat direalisasi oleh sang ayah.
"Api ada dengan bantuan pemantik." Ishak menatapi anaknya. "Jika Zeenda bisa sampai menamparmu, maka ada hal yang menyulutnya untuk melakukan hal itu."
Khairani hanya melongo. "Ayah nggak usah sok suci. Rani tau, Ayah itu licik. Kenapa sih, Ayah nggak mau nurutin apa yang Rani bilang soal ini?"
Tersenyum dengan misterius, Ishak pun menampakkan sisi lainnya di hadapan sang anak. "Karena sekali lagi, Ayah melakukan apa yang ingin Ayah lakukan. Berhenti kekanakkan, Khairani!"
Lalu setelah mendengar suara menggelegar sang ayah, Khairani pun mengambil langkah seribu untuk pergi.
***
Zeenda tengah memilih beberapa buku di perpustakaan. Niatnya ia ingin meminjam buku, teringat bahwa sekarang sudah memasuki akhir pekan. Sudah berlalu sepekan sejak kontroversinya dengan Khairani. Sampai sekarang pun, Zeenda memilih bungkam, tak menceritakannya pada Arfan.
Matanya menelusuri setiap rak yang menyimpan buku-buku islami, bergerak seiring membaca judul yang tertera di samping buku. Akhirnya, pandangan Zeenda tertarik pada buku berjudul Mereka Bertanya, Islam Menjawab.
Senyum tercetak jelas di wajahnya, tangannya terulur ingin menggapai buku tersebut. Namun, gadis itu terlonjak kaget karena sebuah suara tertangkap oleh indera pendengarannya.
"Ngapain kamu di sini?"
Zeenda menoleh, lantas mengelus dadanya. Jantungnya kini berdebar lebih kencang, seiring rasa kagetnya yang belum pudar dan juga kehadiran lelaki di hadapannya ini.
"Mau baca buku, emang nggak boleh saya jadi pinter?" Zeenda malah balik bertanya.
Oke.
Hari ini hari Jumat. Saat hari itu tiba, semua murid diwajibkan memakai seragam putih-putih. Dan boleh Zeenda akui kalau lelaki di hadapannya ini sangat menawan. Dia tidak memakai seragam tetapi baju koko dan celana putih panjang. Itu meningkatkan daya tariknya hingga mendekati seratus persen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
EspiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...