BERLARI, Zeenda merutuki diri karena keteledorannya, ia sampai telat. Mengecek jam di tangan sebentar, napas Zeenda tercekat saat menyadari dirinya sudah telat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan.
"Macet?" Lelaki itu justru tidak menanggapi rasa bersalah yang hadir dalam hati Zeenda. Ia berjalan mendekat, lantas merapikan kerudung istrinya. "Sampe berantakan gini. Kamu lari berapa meter?"
Zeenda terkekeh, menutupi kegugupannya. "Paling lima ratus."
Mata Arfan membulat. "Duduk dulu, yuk. Aku beliin minum, ya."
"Nggak usah." Tangan Zeenda menahan tubuh Arfan yang sudah mau pergi. "Nanti keburu selesai walimahannya."
"Kamu kenapa nggak mau dijemput sama aku kalo gitu?" Alis tebal Arfan naik salah satu, menatap gadisnya yang menatap sana-sini karena gugup.
"Aku--" Tak menemukan alasan yang tepat, Zeenda merutuki diri--lagi.
"Masih mau nyembunyiin pernikahan kita?" Meski nada suara Arfan terdengar lembut tapi Zeenda bisa menangkap intonasi kecewa di dalam pertanyaannya. Hal itu mengundang kegelisahan yang mampir pada diri gadis itu.
"Maaf. Tinggal beberapa minggu lagi, setidaknya aku naik kelas dulu, ya."
Tersenyum dengan ramah, itu yang selalu Arfan tunjukkan pada gadisnya. Tidak pernah sekali pun hingga kini mereka sudah hampir satu tahun menikah, Zeenda mendapati dirinya terkena amarah sang suami. Dengannya, Arfan selalu bersikap baik dan lembut.
"Ayo, kita udah ditanyain."
Bukannya mengikuti langkah Arfan, Zeenda tetap bergeming pada posisinya. Bibir gadis itu maju, menandakan ada masalah dengan perasaannya.
"Kenapa?" Kepala Arfan agak menunduk karena perbedaan tinggi yang signifikan antara keduanya. "Masih capek?"
"Bukan." Mata Zeenda tertambat pada milik Arfan yang kelam--macam biasa. "Aku minta maaf tadi."
Tersadar, Arfan menghela napas dengan berakhir senyum. "Aku lupa. Iya, Sayang, aku maafin." Kepala gadisnya ia tarik perlahan untuk ditambatkan kecupan ringan.
"Beneran, ya? Jangan marah."
"Nggak, Zee." Tidak tahan dengan ekspresi memelas sang istri, Arfan tertawa lepas. "Udah, yuk, kita berangkat."
Lantas keduanya mulai berjalan beriringan menuju satu tempat yang mengundang keduanya untuk datang.
***
"Selamat ya, Tante, Om." Arfan melempar senyum pada satu pasangan yang seusia dengan kedua orang tuanya. Mereka terlihat menawan dengan baju khas pernikahan.
"Selamat juga untuk pernikahan kamu ya, Arfan. Om baru tau kabarnya." Firdaus menepuk bahu Arfan sekali.
"Arfan, daritadi Tante tanya sama Umi kamu, kok kamu nggak bareng?" Eva menyeringai saat tersadar di sebelah Arfan sudah berdiri Zeenda.
"Makasih, Om." Berujar demikian, tangan Arfan merangkul istrinya untuk mendekat. "Iya, Tante, Zeenda ada urusan dulu di sekolah."
Zeenda tersenyum tidak enak. "Tante, selamat, ya!"
"Makasih, Zeenda." Eva mengulurkan tangan untuk dicium Zeenda. "Kamu dicariin sama Khairani, loh. Dia lagi bantu nerima kado." Bukan berarti Eva tidak tahu soal konflik yang pernah terjadi antara keduanya tapi Eva hanya berusaha membantu memperbaiki kesalahan yang diperbuat oleh putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...