Bab Delapan Belas

606 47 1
                                    

LANGKAH terdengar begitu santai dengan diikuti tiga orang lainnya. Zeenda berbincang dengan ketiga sahabat dalam perjalanan mereka menuju kantin sekolah. Kebetulan hari ini Delia mengurus sekolah Khoiril sehingga tidak bisa menyiapkan makanan untuk sarapan. Alhasil Zeenda tidak membawa bekalnya. Ia pun kembali menjejakkan kakinya di kantin sekolah, setelah sekitar dua hari lalu ia datang ke sini.

"Emangnya Khoiril kenapa, Je?" Rantika bertanya begitu mereka sudah memposisikan diri pada antrian.

"Aku nggak nanya banyak, sih. Tapi kemaren Khoiril bilang dia ada pentas gitu, jadi kedua orang tua juga diharapkan untuk ikut."

"Pentas apa?" Alina melongokkan kepala dari belakang bahu Zeenda.

"Kebudayaan mungkin, soalnya tadi Khoiril pake baju batik."

"Pasti dia ganteng banget. Kakak kamu aja ganteng, Je." Mendengar komentar Viara, Zeenda mendengus seketika. Selalu dipuji, itulah hal yang baru-baru ini tersemat pada diri Syamsul sejak pria itu menampakkan diri ke sekolah Zeenda.

"Kalo Uda tau dipuji terus kayak gini, dia pasti jadi sombong tingkat sultan." Gelak tawa Zeenda terdengar begitu geli, begitu pun dengan ketiga sahabatnya.

Mereka mendudukkan diri di salah satu meja yang terjajar rapi di kantin setelah memesan makanan. Keempatnya kembali terlibat perbincangan ringan. Sesekali hening karena mereka sibuk dengan makanan masing-masing.

"Khairani nggak masuk lagi hari ini." Suara seseorang membuat keempatnya langsung memasang tingkat kepekaan tinggi pada indera pendengar mereka. Yang berbicara itu adalah Wafda--kelas dua belas.

Nama yang tabu bagi Zeenda dan ketiga sahabatnya.

"Kenapa?" Seorang lain menyahut dengan penasaran.

Wafda memajukan tubuh, terlihat bahwa dirinya begitu tertarik untuk mengusut topik tentang ketidak hadiran Khairani pada hari ini dan sebelumnya. "Ada yang bilang dia nyusul Arfan ke Mesir."

Seseorang yang menyahut tadi adalah Firda--satu angkatan dengan Wafda--berdecak seolah menolak argumen Wafda. "Jangan ngegosip, Wafda."

"Eh, seriusan ini. Tau sendiri 'kan Arfan terpaksa ke Mesir untuk nyelamatin nama baik keluarga Ustad Raffi yang lagi maraknya dituduh sekarang. Udah beberapa hari ini Arfan nggak masuk sekolah juga. Jadi apa ada alasan lain selain Khairani nyamperin Arfan ke sana? Mereka berdua adalah satu-satunya murid yang nggak masuk. Mengingat Senin aja ujian."

Zeenda langsung tegang. Berbagai pikiran buruk mangkrak dalam otaknya. Ia tanpa sadar menggenggam sendok. Ketiga sahabatnya sudah menatap pada diri Zeenda yang perlahan menggelap.

Istighfar, Zeenda, istighfar. Nasihat otaknya yang masih sehat. Ia tidak boleh termakan gosip. Kalau pun memang benar Khairani menyusul Arfan ke Mesir, itu bukan urusannya.

Ya. Itu bukan urusannya. Karena yang berurusan adalah kedua insan itu.

Tapi entah mengapa hatinya berat menerima fakta tentang 'itu bukan urusannya'.

Dalam keadaan di mana pikiran sedang kacau seperti ini, tiba-tiba sesuatu menyumpal kedua telinga Zeenda, perlahan suara murotal Quran memenuhi pendengarannya.

Zeenda mendongak, matanya mendapati Fariz yang melihatnya dengan dingin. Tak lama suara murotal pun berhenti, tapi pelantang telinga berukuran cukup besar itu tetap parkir di kedua alat pendengar Zeenda.

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang