KURSOR terarah pada satu tautan berita. Gadis itu dengan semangat yang menggebu pun mengklik untuk menganalisa unsur berita di dalamnya. Hanya beberapa sekon saja ia mampu menarik kesimpulan.
"Jelas ini rekayasa." Komentarnya dengan suara rendah. Sekarang ini ia sedang menumpang data nirkabel di kantin sekolahnya. Jarang memang baginya untuk berdiam di kantin, biasa saat sekolah ia selalu membawa bekal buatan Delia--sang bunda.
Suasana kantin saat ini pun agak sepi karena bel pulang sekolah sudah memekakkan telinga beberapa waktu lalu. Zeenda memilih untuk menetap di sekolah, kalau ia melakukan aktivitasnya ini di rumah bisa-bisa tidak fokus karena kedua orang tuanya atau sang adik.
"Zeenda?" Suara rendah seorang lelaki memanggil namanya. Gadis itu menolehkan kepala, menatap Fariz yang juga melihatnya dengan pandangan heran. "Belum pulang?"
Gadis itu tersenyum, matanya mengikuti arah Fariz, tanpa persetujuannya, lelaki itu sudah duduk di hadapannya. "Kakak sendiri?"
"Pertanyaan dijawab pertanyaan? Apa itu cara berkomunikasi yang benar?" Sindiran Fariz membuat Zeenda mendadak bungkam. Gagal baginya untuk bersikap ramah, mengingat Fariz adalah sahabat Arfan. Salah besar langkah yang diambil Zeenda, gadis itu tidak mengetahui sifat Fariz yang ternyata penuh sindiran macam majas sarkasme dan satire.
"Dan apakah pertanyaan yang udah diketahui jawabannya harus dijawab?" Zeenda bersyukur memiliki otak yang masih bisa digunakan. Dengan begini ia bisa menjawab Fariz seolah ia sama pintarnya.
Memikirkan ia berada pada level kepintaran sama dengan Fariz membuatnya mangkak dan sombong. Tak sadar, senyum bangga pun tercetak jelas.
Astaghfirullah. Sadar hatinya yang masih alim.
Fariz pun tersenyum, merasa Zeenda cukup nyambung dengan dirinya yang berbeda cara pandang dari seusia Fariz. Gadis itu barangkali bisa jadi teman berbincang yang cocok, sama seperti sahabatnya Arfan.
Mengingat lelaki itu, mendadak Fariz merasa sedih. Sudah beberapa hari ini ia terpaksa duduk sendiri, Arfan harus menetap sementara di Mesir. Fariz sudah tahu desas-desus tentang keluarga Raffi. Tak ayal, beliau guru di sini, begitu pun kedua anaknya yang juga menuntut ilmu di sekolah ini.
"Kamu sedang apa?" Tak biasa, Fariz jadi orang yang ingin tahu.
"Aku lagi nganalisis berita yang terus jadi trending di kolom pencarian."
"Arfan?" Alis Fariz naik sebelah.
Zeenda mengangguk, tatapannya masih mengarah pada layar komputer jinjingnya. "Kakak udah tau?"
Fariz mengedikkan bahunya. "Aku selalu diwanti-wanti Arfan tentang berita yang tersebar di negara ini. Peringatan Arfan itu buat aku penasaran, jadi aku terus mengikuti perkembangan beritanya."
"Menurut Kakak gimana?"
"Gimana apanya?" Fariz menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kesimpulanku?"
Zeenda mengangguk penasaran. Ia hanya ingin tahu, apa dirinya saja yang merasa berita itu dimanipulasi atau ada orang lain yang satu suara dengannya.
"Bohong, dusta, racun."
Mulut Zeenda menganga mendengar jawaban lelaki di hadapannya. Gadis itu yakin ketiga kata yang terlontar itu disisipkan emosi yang begitu kuat, tapi ekspresi Fariz saat mengatakannya yang membuat gadis itu melongo. Lelaki itu mengucapkan dengan santai namun dingin. Tak seperti kebanyakan orang yang mungkin akan geregetan.
"Banyak lalat di kantin. Aku nggak mau bawa kamu ke rumah sakit karena kesedak lalat." Cara penyadaran Fariz akan termenungnya Zeenda pun sangat langka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...