"APA?!" Gadis itu terbelalak. "Mesir?!"
Arfan mengangguk dengan tautan alisnya yang menurun karena sedih. "Zee...." Lelaki itu menahan diri mati-matian agar tidak mengelus kepala gadisnya sebagai bentuk menenangkan.
Zeenda menarik napas, senyum memaksakan miliknya tercetak. "Jika memang itu jalan terbaiknya, saya hanya bisa bantu doa."
"Sabar, ya."
Zeenda tersenyum samar, seraya mengangguk. "Terus Kakak gimana sekolahnya?"
Mendengar sahabatnya yang hanya bertanya pada sang kakak, Alarya berdeham. "Kok Abang doang, Je? Aku nggak?"
Pertanyaan Alarya yang terlontar membuat Zeenda geragapan. "A--Ah, maksudnya, sekolah kalian gimana?"
"Karena Alarya masih kelas sepuluh, itu nggak masalah. Dia mungkin bisa cuti dan mengganti semua pelajaran yang tertinggal dengan home schooling. Sepertinya juga konsep seperti itu bakal dipakai Abi untuk aku. Cuman mungkin aku akan melaksanakan ujian nasional di sana." Arfan menarik napas dengan berat, mendadak peningnya terasa.
"Abang?" Alarya melihat perubahan sikap kakaknya langsung peka.
Zeenda melihat itu langsung ikut khawatir. "Kakak sakit, ya?"
Medengar pertanyaan itu, lelaki yang dimaksudkan hanya menggeleng kepala tegas. "Aku baik-baik aja."
"Mau ke rumah sakit, Kak?"
Arfan memaksakan senyum. Ia memandangi wajah Zeenda yang cemas. "Nggak perlu, Zee."
"Tapi pucet banget, Kak. Rumah saya nggak sedia obat dalam. Kalau mau, ayo ke rumah sakit."
"Je, nggak usah, deh. Mungkin kita pulang aja, ya." Alarya menengahi.
"Kalian ke sini naik motor, kan? Terus dalam kondisi gini, Kakak mau bawa motor, gitu?" Zeenda tahu kalau Alarya tidak bisa mengendarai kendaraan beroda dua itu. Jadi ia langsung berpikiran yang tidak-tidak jika saja Arfan memaksakan untuk mengemudi.
Terdengar kekehan dari lelaki itu. "Kamu lucu kalau panik." Katanya, membuat Zeenda termenung sebentar. Sedangkan alis Alarya sudah bertaut, menghina secara diam-diam cara sang kakak mengekspresikan diri.
"Astaghfirullahal'adzim, ingatlah wahai kakak dan calon kakak iparku, aku hadir untuk menjaga kalian." Alarya sudah geleng-geleng kepala.
"Benar kata Alarya. Zee, kita pulang dulu, ya." Melihat Arfan yang hendak bangkit, Zeenda langsung berteriak menahan.
"Keluhan Kakak apa?"
Arfan menaikkan salah satu alisnya. Mula ia merasa bingung, tapi langsung tersenyum begitu paham. "Hanya sedikit pusing dan mual."
"Kalau gitu, tunggu sini." Zeenda sudah bangkit dan pergi pamit, entah ke mana. Tak lama, gadis itu kembali dengan secangkir minuman dan beberapa kapsul obat herbal.
"Ayah selalu minum ini kalau merasa keluhan seperti yang sedang Kakak rasakan. Diminum dulu, baru pulang." Zeenda membuka kapsul dan mencampurnya pada minuman di cangkir, mengaduk sebentar lantas menyodorkan secangkir minuman dengan bau jahe yang begitu menyengat itu pada lelaki di hadapannya.
Arfan terdiam sementara, hatinya langsung dikepaki ribuan kupu-kupu. Rasa senang bukan kepalang dirasanya saat ini, begitu menerima perlakuan Zeenda yang sangat manis.
Eh, sudah gila kau! Biasanya otak Zeenda yang sarkas, tapi sekarang virus sarkasme pun menjangkiti otak Arfan.
Dengan niat, lelaki itu langsung menenggak habis. Ia menanamkan pemikiran dalam benak bahwa obat yang diminumnya itu akan berefek baik pada tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...