Tiga - Menginap?

112 5 8
                                    

Sebuah Alparth hitam berjalan lambat menuju rumah nomor 17 A, kemudian berhenti tepat di depannya. Cowok ber-hoodie yang semula duduk di depan pintu pagar rumah itu langsung berdiri. Seorang cowok yang tingginya hampir sama dengannya keluar dari mobil dan bergegas menyambutnya.

"Rio...."

"Ad...."

Keduanya saling sapa dan berpelukan khas ala lelaki. Adrian mempersilakan Rio, si cowok tadi untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"Lo kenapa nggak bilang kalo nyampe bandara lebih cepet? Jadi gue bisa jemput lo dari awal, kan?" protes Adrian.

"Gue berangkat dari sana emang lebih awal. Gue nggak mau nunda lama buat nyampe sini. Malahan asyik gue bisa sekalian jalan-jalan bentar di Surabaya terus ngebis ke sini," ujar Rio sambil mengulas senyum simpul.

"Untung tadi gue baru nyampe Singosari. Belum terlalu jauh jadi langsung muter balik."

Rio terdiam sesaat dan tampak memikirkan sesuatu. "Bro... bantu gue nyari kost, ya," ujarnya kemudian.

"Ngomong apaan, sih. Kayak sama siapa aja. Udah lo tinggal di sini aja, toh banyak kamar kosong di sini," tolak Adrian tegas.

"Nggak, bro. Ngerepotin."

"Alahh... apaan, sih, lo. Udah di sini aja. Kost di daerah sini mahal, tau." Adrian bersikeras.

"Orangtua lo ke mana?"

"Mereka di Sidney, lagi buka usaha di sana, jadi jarang pulang juga. Paling setahun sekali pulang ke sini. Mereka pasti seneng kalo liat lo lagi. Gila... udah lama juga, ya, nggak ketemu sama lo."

Rio mengangguk. "Kenapa kalian jadi pindah ke sini? Sejak kapan cabut dari Jakarta?"

"Nggak lama sejak lo pindah ke Osaka itu, taun berapa tuh... 2003 ya? Taun 2004 akhirlah bokap ngajak pindah soalnya udah terlanjur beli rumah di sini. Ya sekalian buka usaha juga di sini. Rumah yang di Jakarta udah dijual sama bule Australia," jelas Adrian membeberkan alasan kepindahannya ke Kota Malang ini.

"Sekarang lo kuliah?" tanya Rio lagi.

"Ya... gitu, deh, ngambil kelas eksekutif sambil jalan ngelola usaha juga di Sawojajar. Toko yang di sini, si Audy yang megang."

"Oh, keren, keren."

"O ya, gimana kabar Om sama Tante? Kangen gue, lama nggak ketemu."

Mendadak Rio tersentak saat mendengar pertanyaan Adrian. Ada kesedihan di raut wajahnya. "Mereka udah nggak ada."

"Ha? Serius, lo? Kenapa? Kok bisa?" Sekarang ganti Adrian yang kaget.

"Karena sakit. Waktu itu gue mau hubungin lo tapi nomer lo udah nggak aktif. Untung bulan lalu gue sempet buka facebook dan baca inbox lo soal alamat baru lo ini. Yang penting sekarang lo tau keadaan gue kayak gimana. Jadi jangan ingetin gue sama masa lalu gue. Gue nggak mau sedih-sedihan di sini."

Adrian merasa berduka. Dia bisa mengerti kalau Rio tidak mau membahas masa lalunya apalagi cerita yang lebih detail tentang kedua orangtuanya. Sejak kecil temannya ini memang agak susah kalau diajak ngobrol soal keluarganya.

"Tapi lo mau, kan, tinggal di sini? Nggak bakal gue pungut biaya. Tenang aja," kata Adrian lagi sebelum benar-benar larut dalam kesedihan.

Rio berpikir sejenak. "Tapi, adek lo gimana?"

"Udah, adek gue baik, kok, anaknya. Dia juga setuju kalo lo mau tinggal di sini."

"Lo udah bilang sama adek lo?" Rio seakan tak percaya.

My Lovely Guest [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang