Sembilan Belas - Hari Terburuk

66 6 0
                                    

Rio merasa bersalah karena membuat Audy lari dari rumah. Dia mengacak rambutnya, merasa frustasi karena saat ini sudah pukul sebelas malam dan tidak ada tanda-tanda Audy akan kembali. Sudah dua jam Rio, Adrian dan Kirei mencarinya dengan menelusuri semua komplek dan jalan raya, tetapi tak ada hasil.

Tak lama, Adrian menepikan mobilnya di sekitar jalan Soekarno Hatta. Di seberang jalan, banyak anak-anak muda yang terlihat nongkrong di warung kopi lesehan. Sebagian ada yang bermain kartu dan sebagian lagi ada yang gitaran. Adrian mendesah. Mana mungkin Audy akan lari ke arah sini?

"Kenapa kalian mesti berantem segala, sih? Sekarang nyari ke mana lagi? Ini udah malem," kata Adrian gelisah. Dia tidak bisa berpikir apapun lagi.

"Gue nggak tahu, Ad. Sori...."

"Sori kata lo?? Sori?? Kalo terjadi apa-apa sama adek gue. Gue bunuh lo!" geram Adrian yang tanpa pikir panjang langsung mencengkram hoodie Rio. Tangannya mengepal keras siap melayangkan tinju. Namun seketika niat itu diurungkannya. Adrian tidak bisa melakukan itu padanya. Tidak bisa dengan kekerasan.

"Akan lebih baik kalo lo bunuh gue sekarang! Nggak ada bedanya gue mati sekarang atau ntar!" teriak Rio berang. Emosinya semakin membuncah karena bingung harus berbuat apa. Sementara Kirei yang berada disamping pintu mobil masih terisak. Bahkan sejak kejadian tadi, tidak ada yang menghiraukannya. Kirei benci situasi ini. Dia ingin pulang.

"Liat..." Adrian menunjuk pada Kirei. "Lo buat Kirei tambah ketakutan. Kita pulang sekarang. Kita pikirin di rumah," tandas Adrian sambil melepaskan cengkeramannya. Bukan dengan cara kekerasan fisik jika dia harus memberi Rio pelajaran. Seandainya bisa, ingin sekali Adrian memukulinya hingga babak belur.

Di perjalanan pulang, tidak ada satupun yang bicara. Terutama Rio, dia berkali-kali memaki dirinya sendiri yang begitu bodohnya membuat cewek itu lari. Lari dari rumahnya sendiri dan lari menjauh darinya. Jika kata 'seandainya' lebih dulu datang memperingatinya dari awal. Tentu saja tidak akan begini.
Seandainya dia tidak memulai pertengkaran itu. Seandainya dia bisa mengaku cinta pada Audy.

***

"Aku udah nggak tahan lagi, Rio. Aku mau pulang besok," isak Kirei sedih. Jika dia tahu kedatangannya ke rumah ini hanya untuk membuat masalah, dia tidak akan datang menyusul Rio ke Indonesia.

"Kenapa? Kirei jangan pulang, oke? Tolong jangan buat aku tambah pusing," kata Rio resah. Sekarang masalahnya kian bertambah. Audy belum pulang dan Kirei terus-terusan menyalahkan diri bahwa dialah penyebab semua masalah diantara mereka. Jika ada yang harus disalahkan, dia adalah Rio, bukan Kirei.

"Aku juga perempuan. Dari awal aku datang ke sini, aku tahu kalau Audy suka sama Rio. Dan aku juga tahu Rio juga suka sama Audy. Jadi tolong Rio jangan pura-pura lagi. Kita sudahi semua ini." Kirei tetap kukuh. Semua pakaiannya telah tertata rapi dalam kopernya.

Rio menyentuh kedua pipi Kirei yang memerah akibat terus menangis.

"Dengerin aku. Aku yang salah. Aku yang bertanggungjawab atas semua ini. Tapi tolong... jangan kayak gini. Aku mau kamu sabar," bujuk Rio.

"Sabar? Sampai kapan? Audy begini karena kita. Aku nggak bisa maafkan diriku sendiri kalau Audy kenapa-napa."

"Maka dari itu aku minta kamu sabar. Setidaknya tunggu sampe Audy pulang. Aku akan selesaikan masalah ini," pinta Rio penuh harap.

Kirei menggeleng-geleng. "Aku nggak bisa lagi, Rio... kita sudahi saja. Aku akan bicara ke Audy kalau Rio juga punya perasaan yang sama dengannya."

"Nggak, Kirei, nggak!" sentak Rio tak percaya dengan perkataan Kirei. "Denger... kamu nggak akan ke mana-mana. Tunggu sampai Audy pulang setelah itu kita pergi sama-sama... kita pulang ke Osaka. Aku janji.”

My Lovely Guest [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang