Empat - Tak Seharusnya

75 5 0
                                    

Langkah Rio terhenti ketika ujung matanya mendapati seorang penjual siomay di ujung jalan, setelah perempatan dari rumah Adrian. Gerobaknya tampak bersih meskipun kayu-kayunya terlihat usang. Meja dan kursi tanpa sandaran tertata rapi hingga dekat ke tembok yang merupakan tembok samping dari sebuah sekolah playgroup. Sumber penerangannya hanyalah lampu fosfor yang tiangnya berada tepat di samping gerobak itu sendiri.

Beberapa pelanggan pergi satu per satu setelah mendapatkan pesanannya. Rio kembali meneruskan langkahnya mendekati pedagang jalanan itu. Setelah sampai di sana, sudah tidak ada pelanggan lagi yang makan di tempat.

"Monggo, Sam. Mumpung masih ada," kata penjual siomay itu dengan ramah.

Rio tersenyum kikuk lalu duduk di kursi dan bersandar ke tembok di belakangnya.

"Mau berapa porsi, Sam?" tanya si penjual dengan santun.

"Nama saya bukan Sam, Mas," kata Rio membuat si penjual tertawa. Rio pun bingung.

"Sam itu artinya: Mas. Udah karakternya orang Malang kalo ngomong dibalik gitu kata-katanya, Mas," jawab si penjual sambil mengelap meja dengan kain bersih.

"Oh...." Rio mengangguk-angguk. "Saya pesen teh anget aja, Mas."

Si penjual mengangguk ramah lalu membuatkan minuman yang diminta oleh Rio.

Rio memperhatikan suasana sekitar yang tampak sepi. Di seberangnya terdapat rumah yang banyak sekali tanaman dan pepohonan yang tinggi dan lebat. Jika tidak ada penjual makanan di sini, pasti jalanan ini sangat sepi dan terkesan horor karena pohon besar nan gagah itu.

"Ini, Mas...," si penjual meletakkan segelas teh hangat di meja Rio. "Mas bukan asli sini, ya? Panggil aja saya Anam."

"Sebenarnya saya asli sini. Cuma numpang lahir aja, Mas Anam," ujar Rio sambil terkekeh. Mas Anam pun tampaknya berminat mengobrol dengannya, sehingga dia pun ikut duduk selagi tidak ada pelanggan lagi yang mampir.

"Terus habis itu ke mana?" tanya Mas Anam yang Rio tafsir umurnya beda beberapa tahun di atasnya.

"Pas umur delapan tahun langsung dibawa orangtua pindah ke Osaka, Mas. Ya nggak sempet nikmatin kota kelahiran jadinya," ujar Rio lagi.

"Oalah... Osaka yang di Jepang itu, tha? Wah... keren, yo..." Mas Anam merasa takjub dengan cowok di depannya itu. "Terus baru sekarang balik ke sini?"

Rio mengangguk. "Ini baru pertama kalinya, Mas. Dari bayi sampe umur delapan tahun itu saya tinggal di Jakarta. Terus baru sekarang ini saya ke sini."

Mas Anam manggut-manggut. "Mumpung lagi di sini Mas bisa jalan-jalan. Puas-puasin aja."

"Saya nggak suka keramean, Mas."

"Loh, terus kamu mau ngapain ke sini? Masa cuma duduk diem aja?" tanya Mas Anam bingung.

Rio menatap Mas Anam sesaat lalu mengulas senyum di bibirnya. "Saya ke sini untuk mati, Mas."

Mas Anam terdiam sesaat lalu tertawa terbahak sambil menepuk pundak Rio. "Oalah, maksudmu sakmatine tetep nang Malang? Sampe tua tetep di sini gitu, kan?"

Rio mengangguk dan tertawa garing menanggapi kata-kata Mas Anam. Dia bergidik dan merapatkan jaket yang kerahnya sampai menutup leher.

Malam ini sudah mulai terasa dinginnya.

***

Rio melangkah gusar menaiki tangga. Setelah berjalan-jalan sebentar di sekitaran komplek, dia ingin langsung tidur. Obrolannya bersama Mas Anam tadi menjadi kisah pembuka pertamanya di Kota yang baru saja dia singgahi. Ternyata masih ada orang yang baik terhadapnya meskipun baru kenal.

Dan ia baru saja akan membuka pintu kamarnya saat tiba-tiba Audy berdiri di depan pintu kamarnya. Rio menatap Audy datar.

"Apa?" tanya Rio malas.

"Mendingan kamu cari kost lain aja. Ada, kok, kost cowok di gang sebelah. Aku denger masih ada kamar yang kosong. Harganya 550 ribu per orang," kata Audy tanpa basa-basi.

"Mahal," jawab Rio cuek.

"Apa??"

"Yang nyuruh gue tinggal di sini, kan, Adrian. Yang berhak ngusir gue dari sini juga Adrian, dong," Rio tak mau mengalah.

Audy mulai naik darah. "Kamu ngomong apa, sih, sama Kakak sampe-sampe dia mau aja ngijinin kamu nginap di sini?"

"Kakak lo sendiri yang mau gue tinggal di sini. Katanya juga lo udah setuju," kata Rio sewot.

"Kapan aku bilang setuju? Kakak nggak ada ngomong soal kamu yang mau nginap sini, tuh."

"Ya lo tanyain aja sama kakak lo. Protes aja sama orangnya langsung." Rio mulai kesal.

"Dasar orang ini...."

"Apa?" Rio mengangkat dagunya seolah menantang Audy.

"Apa?" Audy balas menatap.

Disaat itulah keduanya saling tatap. Audy tidak bisa menghindar ataupun mengelak. Kali ini dia begitu sangat dekat dengan cowok yang bahkan tidak dikenalnya.

Kali ini hati kecil Audy tak bisa memungkiri bahwa cowok di depannya ini memang begitu menarik.

"Peter Parker...." Audy menggumam di luar kesadarannya. Matanya menatap Rio seperti terkena mantra sihir tingkat tinggi. Terpesona seperti halnya fans-fans Adrian yang lebay itu. Lagian kenapa dia bisa menyebut nama itu di saat seperti ini, sih?

"Hah?" Rio tak mengerti dan Audy pun langsung membungkam mulutnya begitu tersadar dengan apa yang dia ucapkan barusan. Ada yang tidak beres dengan otaknya. Beneran.

Suara tawa tiba-tiba pecah dari arah belakang, membuat Audy menoleh lalu mendelik ke arah si pemilik suara.

"Maklumin aja, Yo. dia emang suka begitu. Dia anggep semua cowok itu Peter Parker. Sendirinya Mary Jane," kata Adrian geli kemudian berlalu menuju kamarnya.

Rio masih menatap Audy dengan heran. Audy balas menatapnya dengan kikuk. Dia menggigit bibir bawahnya, tak tahu apa yang harus dikatakannya. Audy tampak bodoh di depan orang asing ini.

"Baka—Bodoh—," kata Rio pelan kemudian masuk ke kamar dan menutup pintunya di depan Audy yang masih berdiri mematung.

"Ah... Ya Tuhan... aku barusan ngomong apa, sih?! Aku udah gila!" Audy menggerutu kemudian berderap pergi meninggalkan kamar Rio.

***

Derapan langkah kaki sudah tidak terdengar dari kaki jenjang milik Audy. Rio yang masih berdiri di balik pintu, tersenyum sendiri mengingat ekspresi lucu cewek itu.

Apa yang dia lakukan sekarang? Tersenyum karena cewek itu bukanlah hal yang bagus untuknya. Dia tak sepantasnya menginginkan sebuah perkenalan yang manis dengan cewek manapun. Karena bila hal itu terjadi dan ada cewek yang bersimpati padanya, dia hanya akan menyakiti perasaan cewek itu. Dan Rio tidak mau itu terjadi.

Tiba-tiba Rio tak sengaja melihat sebuah foto 4R yang terbingkai rapi di atas meja. Rio meraih bingkai itu, mengamatinya dengan cermat, dan sedetik kemudian dia tersenyum. Ternyata Adrian masih menyimpan foto itu. Foto kenangan mereka saat berumur tujuh tahun, dimana keduanya tengah memegang bola di depan rumah Adrian saat masih tinggal di Jakarta dulu.

Kemudian matanya tertuju pada foto gadis kecil yang tersenyum lebar di tengah-tengah mereka. Saat itu dia masih berumur empat tahun. Tak heran bagi Rio jika gadis kecil itu tidak mengingatnya sama sekali, yang dulunya pernah bermain bersamanya.

Ya, Audy yang sekarang... sudah beranjak dewasa.

My Lovely Guest [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang