Lima Belas - Sedikit Mulai Terkuak

58 5 0
                                    

Rio berjalan tertatih meniti anak tangga ketika rasa pusing di kepalanya semakin menjadi. Cairan hangat kemerahmudaan masih saja terus mengalir dari hidungnya, meskipun sudah disekanya dengan sapu tangan yang kini sudah penuh dengan warna merah. Dalam hitungan detik tubuhnya mulai melemas hingga sepasang tangan mungil harus menopangnya.

Hanata Kirei, cewek itu masih setia di sampingnya. Wajahnya sudah basah oleh airmata, melihat cowok yang sebegini keras kepalanya menolak pergi ke rumah sakit. Sekalipun dia harus bersimpuh, cowok itu tetap nekat.

"Rio, ayo kita ke rumah sakit," pinta Kirei memohon. Dia terus menangis di samping Rio dan menjagainya kalau-kalau dia terjatuh.

Rio menggeleng keras. "Aku nggak pa-pa. Cuma begini aja, kok. Aku terlalu capek hari ini. Kamu... nggak usah khawatir," ujarnya susah payah menahan sakit di kepalanya.

"Baka! Baka! Baka!—Bodoh! Bodoh! Bodoh!—" Kirei mengumpat dalam isakan tangisnya. Sementara Rio hanya tersenyum menertawai keadaannya yang selalu saja menyusahkan cewek itu.

"Gomen, aku menyusahkanmu, Kirei," ujarnya lagi merasa bersalah, menimbulkan suara isakan cewek itu lebih keras dari sebelumnya. Melihat itu, Rio langsung mengusap lembut rambut halus Kirei dan menciumnya seolah ingin meyakinkannya.

Adrian yang baru saja akan berderap turun, langsung memasang ekspresi panik begitu melihat cowok itu hampir roboh.

"Yo, lo kenapa, Yo?" tanyanya spontan kemudian menuntun Rio ke kamarnya. Di sana, Kirei langsung mengobrak-abrik isi laci di mejanya seperti ingin mencari sesuatu. Tak lama, dia mendapatkannya. Sebuah botol berisi pil-pil.

"Minumlah." Kirei mengangkat sedikit tengkuk Rio, memasukkan pil ke dalam mulutnya, dan memberinya segelas air putih. Mimisan Rio pun sudah berhenti sejak lima menit yang lalu. Seketika, hati Kirei perih. Cowok yang terbaring di sampingnya tentu saja tidak bisa menjauh dari obat-obatan yang sangat dibenci oleh Rio sendiri.

"Obat-obatan ini nggak cukup, Yo! Sampe kapan lo mau kayak gini? Sampe kapan lo tetep keras kepala?" Adrian merasa frustasi dengan beban berat yang dipikul oleh teman semasa kecilnya ini. Dia tidak mengira bahwa nasibnya akan sebegitu menyedihkannya hingga dia harus bertaruh nyawa demi sesuatu yang disebut hidup.

"Thank's, lo udah baik sama gue, Ad. Gue nggak akan pernah lupain kebaikan lo," ujar Rio getir setelah beberapa detik mencoba mengatur napasnya yang berjalan cepat.

"Jangan jadi pengecut, Yo! Ayo kita ke rumah sakit sekarang!"

"Lo mau bantu gue, kan?" tanyanya dengan sorotan mata yang penuh amarah. "Kalo lo bisa jamin gue bisa sembuh total, lo boleh bantuin gue!"

Keadaan hening, hanya terdengar embusan napas Rio yang memburu cepat. Baik Adrian ataupun Kirei hanya bisa diam. Terlebih Adrian sangat terpukul dengan ucapan Rio yang seketika menyadarkannya bahwa dia tidak cukup mampu berbuat banyak. Memang benar, pengobatan untuknya tidak memakan biaya yang sedikit.

Sementara Rio hanya tersenyum kecut melihat wajah-wajah mereka yang tampak begitu menelan rasa simpati untuknya. Wajah-wajah penuh rasa kasihan dan iba yang membuatnya begitu muak. Ini semakin membuatnya kembali sadar, bahwa dia tidak punya harapan seindah yang selalu diimpikannya.

Rio harus kembali sadar, dia tidak berhak bermimpi, mimpi bahagia yang sebenarnya dia ingin membangunnya bersama Audy. Ya, Rio mulai mencintai cewek itu. Mulai menghianati komitmennya bersama Hanata Kirei.

"Di mana Audy?"

***

Audy melangkah gontai menuju kamarnya. Rio meninggalkannya begitu saja dan dia harus meminta maaf berkali-kali kepada Rey, karena cowok itu juga yang harus mengantarnya pulang.

Lamat-lamat Audy mendengar suara seperti orang yang berbisik-bisik dari kamar Rio. Ketika menoleh, pintu kamar itu sedikit terbuka. Dia harus mendekat ke tiang pintu untuk melihat lebih jelas ke dalam.

Rio yang duduk bersandar dengan wajahnya yang pucat lah yang pertama kali Audy lihat. Apa dia sakit? Kenapa wajahnya terlihat begitu pucat? Dia tampak memperlihatkan senyum dan candaan yang sepertinya tidak biasa itu kepada seseorang di sampingnya.

Penglihatan Audy bergeser ke samping. Di sana, duduk si cewek mungil dan cantik yang selalu menempel pada Rio, yang entah kapan cewek itu mau sedikit saja melepaskannya. Audy tidak tahan lagi melihatnya. Dia berbalik badan dan berderap ke kamarnya.

Rio menghentikan canda tawanya begitu sosok tubuh ramping itu menjauh dari balik pintu. Dia tahu ada Audy di sana yang diam-diam memperhatikan mereka, seperti mengintai seorang pencuri yang sedang melakukan aksinya. Cewek itu seharusnya berhenti untuk ingin tahu apapun yang dilakukannya.

Cewek itu harus tahu, tidak ada jalan bagi mereka berdua untuk bersama.

My Lovely Guest [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang