Langkah Rio terhenti ketika ujung matanya mendapati seorang penjual siomay di ujung jalan, setelah perempatan dari rumah Adrian. Gerobaknya tampak bersih meskipun kayu-kayunya terlihat usang. Meja dan kursi tanpa sandaran tertata rapi hingga dekat ke tembok yang merupakan tembok samping dari sekolah playgroup. Sumber penerangannya hanyalah lampu fosfor yang tiangnya berada tepat di samping gerobaknya.
Beberapa pelanggan pergi satu per satu setelah mendapatkan pesanannya. Rio kembali meneruskan langkahnya mendekati pedagang jalanan itu. Setelah sampai di sana, sudah tidak ada pelanggan lagi yang makan di tempat.
"Monggo, Sam. Mumpung masih ada," kata penjual siomay itu dengan ramah.
Rio tersenyum kikuk lalu duduk di kursi dan bersandar ke tembok di belakangnya.
"Mau berapa porsi, Sam?" tanya si penjual dengan santun.
"Nama saya bukan Sam, Mas," kata Rio membuat si penjual tertawa. Rio pun bingung.
"Sam itu artinya: Mas. Udah karakternya orang Malang kalo ngomong dibalik gitu kata-katanya, Mas," jawab si penjual sambil mengelap meja dengan kain bersih.
"Oh..." Rio mengangguk-angguk. "Saya pesen teh anget aja, Mas."
Si penjual mengangguk ramah lalu membuatkan minuman yang diminta oleh Rio.
Rio memperhatikan suasana sekitar yang tampak sepi. Di seberangnya terdapat rumah yang banyak sekali tanaman dan pepohonan yang tinggi dan lebat. Jika tidak ada penjual makanan di sini, pasti jalanan ini sangat sepi dan terkesan horor karena pohon besar nan gagah itu.
"Ini, Mas..." si penjual meletakkan segelas teh hangat di meja Rio. "Mas bukan asli sini, ya? Panggil aja saya Anam."
"Sebenarnya saya asli sini. Cuma numpang lahir aja, Mas Anam," ujar Rio sambil terkekeh. Mas Anam pun tampaknya berminat mengobrol dengannya, sehingga dia pun ikut duduk selagi tidak ada pelanggan lagi yang mampir.
"Terus habis itu ke mana?" tanya Mas Anam yang Rio taksir umurnya berbeda beberapa tahun di atasnya.
"Pas umur delapan tahun langsung dibawa orangtua pindah ke Osaka, Mas. Ya... nggak sempet nikmatin kota kelahiran jadinya," ujar Rio lagi.
"Oalah... Osaka yang di Jepang itu, tha? Wah... keren, yo..." Mas Anam merasa takjub dengan cowok di depannya itu. "Terus baru sekarang balik ke sini?"
Rio mengangguk. "Ini baru pertama kalinya, Mas. Dari bayi sampe umur delapan tahun itu saya tinggal di Jakarta. Terus baru sekarang ini saya ke sini."
Mas Anam manggut-manggut. "Mumpung lagi di sini Mas bisa jalan-jalan. Puas-puasin aja."
"Saya nggak suka keramean, Mas."
"Loh, terus kamu mau ngapain ke sini? Masa cuma duduk diem aja?" tanya Mas Anam bingung.
Rio menatap Mas Anam sesaat lalu mengulas senyum di bibirnya. "Saya ke sini untuk mati, Mas."
Mas Anam terdiam sesaat lalu tertawa terbahak sambil menepuk pundak Rio. "Oalah, maksudmu sakmatine tetep nang Malang, kan? Sampe tua tetep di sini gitu, kan?"
Rio mengangguk dan tertawa garing menanggapi kata-kata Mas Anam. Dia bergidik dan merapatkan jaket yang kerahnya sampai menutup leher.
Ya, malam ini sudah mulai terasa dinginnya.
***
Rio melangkah gusar menaiki tangga. Setelah berjalan-jalan sebentar di sekitaran komplek, dia ingin langsung tidur. Obrolannya bersama Mas Anam tadi menjadi kisah pembuka pertamanya di Kota yang baru saja dia singgahi. Ternyata masih ada orang yang baik terhadapnya meskipun baru kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Guest [END]
Teen FictionAudy mencintainya. Ia yakin Rio pun begitu. Tapi Rio tidak bisa meninggalkan Kirei, seorang cewek asli Jepang yang selalu ada untuknya dan mendukungnya dalam situasi apapun. Ya, Rio hanya seorang tamu yang tinggal di rumahnya sementara waktu. Hingga...