Sembilan - Tempat Ketenangan

60 5 0
                                    

Audy menatap sekilas tembok tinggi di depannya. Tembok yang tidak ada orang yang tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya.

"Lo nggak waras, ya? Cuma tembok begini apanya yang bagus?" kata Rio kemudian, merasa dibodohi karena sudah percaya begitu saja dengan cewek satu ini.

"Hihh... manusia planet ini emang nggak tahu kata terima kasih, ya!" gerutu Audy gemas. "Sini," ujarnya lagi menarik tangan Rio.

Audy menyibak tanaman merambat yang menutupi sesuatu di tembok itu. Sebuah lubang setinggi satu meter menganga di depan mereka. Audy memasukinya dengan badan menunduk. Rio mengekor dari belakang.

Di sana, Rio tertegun melihat pemandangan di depannya. Dia takjub melihat tanah lapang yang tidak seberapa luas itu ditumbuhi rerumputan hijau setinggi tiga sentimeter. Tiap sudut dan sekelilingnya ditumbuhi pohon kelapa dan pohon palm. Semua itu terbungkus dengan tembok-tembok semen yang dilihatnya dari luar tadi.

Audy menyenggol lengan Rio dan tersenyum penuh kemenangan.
"Masih bilang aku nggak waras?" tanya Audy membuat Rio harus meralat perkataannya.

"Sori," kata Rio singkat.

"Bukitnya ada di sana...," kata Audy menunjuk ke arah gundukan tanah berselimut rumput jepang yang agak meninggi. "Aku sering duduk di sana."

Rio menyipitkan matanya. "Bukit apaan? Itu cuma gundukan tanah biasa," ujar Rio tak sependapat.

Audy menoleh sengit. "Anggep aja bukit kenapa, sih? Protes mulu bisanya!"

"Ya tapi bener, kan... itu cuma tanah. Kalo bukit mah minimal ada beberapa. Ini enggak, cuma satu doang." Rio tak mau mengalah. "Mana kayaknya angker banget lagi."

Audy menatap Rio ganas. "Angker gimana maksud kamu? Nyebelin banget,sih?!"

"Ya lo liat aja ada pohon mangga gede di situ," Rio mengendikkan dagunya mengarah ke pohon mangga yang berdiri di samping gundukan tanah yang disebut bukit oleh Audy. Audy menatap ke arah yang ditunjukkan oleh Rio. "Lo nggak liat ada pohon mangga gede begitu? Terus ada gundukan tanah juga, apa lo nggak mikir kalo itu tempat mirip kayak kuburan?"

Audy membenamkan bibirnya ke dalam. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan dagunya yang lancip. Sementara Rio membuang muka ke arah lain.

"Hm... bener juga, sih, yang kamu bilang," kata Audy kemudian membuat Rio menoleh dan merasa gemas ingin menjitaknya.

Rio mendesah. "Buang-buang waktu aja."

"Heh, ayo sini," kata Audy lagi menarik tangan Rio dan naik ke atas bukit kecil itu. "Terserah kamu mau bilang ini kuburan, kek, kumpulan sampah, kek. Yang penting kamu nikmatin aja di sini, nggak usah banyak protes."

"Ya emang dari jauh kayak kuburan."

"Itu, kan, pemikiran kamu. Kalo kuburan, kan, tanahnya memanjang. Ini, kan, bentuknya sama kayak bukit," potong Audy tak terima.

Rio menghela napas. Akhirnya, dia mau juga berbaring di tanah berumput itu. Udara segar langsung menerpa seluruh tubuhnya, apalagi saat berada di bawah naungan pohon mangga seperti saat ini. Rasanya benar-benar teduh.

Bersama seseorang yang sebenarnya tidak ingin didekatinya lagi, meskipun ingin.

(^o^)

Hari ini Rio datang lagi ke lapangan di balik tembok komplek seberang seorang diri. Sepertinya dulu tempat itu mau dibangun rumah lantai dua menurut Audy, tapi entah kenapa tidak jadi dibangun dan dibiarkan jadi tanah kosong sampai sekarang. Mungkin untuk dijadikan investasi di masa depan. Entah tanah milik siapa Rio tidak mau ambil pusing.

Sekarang dia duduk melamun di atas bukit hingga tidak menyadari kedatangan Audy.

"Udah kutebak, kamu pasti bakal ke sini lagi," kata Audy tiba-tiba. Rio cuek saja.

Audy sengaja duduk berlawanan arah dengan Rio. Dia menyandarkan punggungnya ke punggung Rio yang bidang dan terasa hangat. Dia tahu kalau cowok itu pasti akan protes, namun kali ini sepertinya tidak. Dia hanya diam saja dan tetap menatap tanah berumput hijau di depannya dengan tatapan kosong.

"Kenapa nggak bilang kalo dulu kita tetanggaan?" tanya Audy kemudian.

"Lo masih kecil, mana mungkin inget," ujar Rio datar.

"Setidaknya aku tahu kalo dulu kita pernah deket." Audy menerawang mengingat perkataan Adrian malam itu. "Meski aku nggak inget."

"Apa itu penting buat lo?"

Audy sedikit tersentak. "Nggak, juga."

"Ya, udah. Nggak usah nanya," kata Rio sensi.

Audy menghela napas, berusaha sabar. "Tentang foto itu..."

"Udah gue bilang gue punya privacy, lo juga punya privacy. Kita nggak harus tahu privacy kita masing-masing. Lagian lo juga udah tau cewek di foto itu siapanya gue," potong Rio cepat kemudian terdiam sejenak. Bukankah sebelumnya dia berharap Audy akan menjauhinya setelah mengakui kalau dia sudah punya pacar? Kenapa sampai sekarang Audy malah masih mau mengobrol dengannya? Berdua seperti sekarang ini. Bersandar pada punggung satu sama lain. Dan kenapa Rio sendiri tidak mencegahnya? Malah membiarkan cewek itu merasa nyaman bersandar di punggungnya.

"Terus kenapa kamu dateng ke sini?"

"Ini tanah kelahiran gue. Wajar kalo gue mau jenguk kota dimana gue dilahirin," kata Rio tak sabar, berharap Audy berhenti bertanya seperti Reporter yang kekurangan catatan berita.

"Nggak ada... hal lain?" tanya Audy lagi dengan sedikit menekankan pada kata hal-lain.

Rio menatap langit, tidak ingin menjawab. Tentu saja jawabannya adalah: Ada.

"Ya, udah kalo nggak mau bilang..." Audy menyerah, tapi berusaha membicarakan topik lain. "Kalo kamu mau tahu, pohon mangga yang kamu sebut angker ini dulunya Kakak yang tanem. Kami nemuin tempat ini juga nggak sengaja, entah ini tanah milik siapa nggak terlalu penting. Asal tempat ini masih ada, aku bisa lega..."

Rio tidak berniat menyela. Dia hanya mendengarkan Audy yang bercerita tanpa diminta.

"Terus bukit yang kamu bilang kuburan ini..." kata Audy lagi. "Kakak juga yang buat. Lucu juga, sih, dia cangkulin tanah orang dibentuk bukit begini," ujarnya lagi sambil tertawa kecil.

Dan cerita pun terus mengalir dari cewek yang masih bersandar di punggungnya. Tanpa Audy sadari bahwa Rio berkali-kali pula berusaha menyeka hidungnya yang sudah penuh dengan darah.

Secepat mungkin, Rio berlari meninggalkan tempat itu yang membuat Audy bingung setengah mati. Audy tidak boleh tahu. Jangan sekarang.

My Lovely Guest [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang