MELANGKAH masuk ke dalam ruangan, Wi Tiong hong merasa betapa bersih dan teraturnya ruang kamar itu, empat jendela berderet di depan berhadapan dengan sebuah serambi yang penuh bunga, aneka warna bunga menyiakan bau semerbak yang memabukkan orang.
Ditengah ruangan dekat dinding terdapat sebuah pembaringan, seprei dan bantal semuanya teratur sangat rapi.
Disudut kiri ruangan terdapat sebuah meja kaca, di atas meia terletak sebuah harpa antik serta sebuah hiolo kecil yang terbuat dari tembaga, bau dupa yang harum memancar keluar dari hiolo itu.
Disisi kanan pembaringan terletak sebuah kursi goyang, seorang sastrawan setengah umur berbaju putih sedang duduk disana.
Orang itu berusia empat puluh tahunan, wajahnya persegi dan berwarna putih kemerah-merahan, ia sangat tampan dengan hidung yang mancung dan mata yang besar, hanya sayang kurang bergerak agaknya di hari-hari biasa sehingga tubuhnya agak kegemukan.
Waktu itu dia memegang sebilah pedang kayu berwarna perak, mengikuti goyangan kursi goyangnya dia memutar pedang kayu tersebut kian kemari, seperti seorang bocah yang sedang bermain dengan asyik, begitu asyiknya sampai kehadiran dua orang di dalam kamarnya pun tidak terlihat sama sekali olehnya.
Jelas sudah manusia berbaju putih inilah sang ayah yang dimaksudkan nyonya setengah umur itu.
Sejak kecil Wi Tiong hong sudah kehilangan ayah, bayangan sang ayah baginya sudah buram dan tidak jelas, apalagi dia memang tidak mau percaya dengan begitu saja terhadap perkataan dari nyonya setengah umur itu, kendatipun raut muka orang tersebut memang beberapa bagian mirip dengan wajahnya.
Diam-diam ia mendengus dingin sembari berpikir:
"Entah darimana dia peroleh seorang yang berwajah hampir mirip dengan wajahku untuk menyaru sebagai ayahku? Hmm... bila aku Wi Tiong hong begini gampang ditipu orang, percuma saja aku berkelana di dalam dunia persilatan."
Sementara ia berpikir demikian, nyonya setengah umur itu sudah berjalan mendekati lelaki tadi dengan langkah yang lemah gemulai, dengan tangan sebelah berpegangan pada kursi goyang, dia menunduk dan berbisik kepada lelaki berbaju putih itu dengan suara lembut:
"Kekasih Pui, mengapa kau tidak beristirahat lebih lama? Mau apa kau bangun?"
Berhubung kursi goyangan dipegangi nyonya itu sehingga tubuhnya tak bisa goyang, tanpa terasa lelaki berbaju putih itu mendongakkan kepalanya dan mengawasi nyonya setengah umur itu dengan wajah tertegun, namun pedang kayu ditangannya sama sekali tidak berhenti, dia masih melanjutkan gerakannya menyambar ke sana ke mari.
Jangan dilihat gerakan pedangnya itu ngawur tanpa aturan, namun Wi Tiong hong bisa melihat, diantara ayunan tangannya itu terselip pula lingkaran-lingkaran cahaya yang mirip sekali dengan jurus-jurus serangan dalam ilmu pedang Ji gi kiam hoat.
"Permainan pedangmu sungguh bagus," puji nyonya setengah umur itu sambil tersenyum, "cuma jangan kelewat capai, sekarang kau mesti beristirahat dulu."
Seperti menghadapi anak-anak saja, selain memuji-muji juga membujuknya agar mau beristirahat.
Paras muka lelaki berbaju putih itu segera berseri, benar juga, dia lantas menghentikan permainannya.
Dengan gerak-gerik yang sangat halus dan lembut, nyonya setengah umur itu menerima pedang kayu tersebut dari tangannya, kemudian bertanya lagi:
"Bukankah kau sangat merindukan sanak keluargamu?"
Tampaknya persoalan itu sangat menyentuh perasaannya, air muka lelaki berbaju putih itu segera berubah menjadi murung dan sedih, pandangannya ditujukan ke langit-langit ruangan dan duduk mendelong tanpa bergerak barang sedikitpun jua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persekutuan Pedang Sakti - Qin Hong
ActionDalam kisah terakhir cerita "Pedang Karat Pena Beraksara" diceritakan Ban-kiam Hweecu berhasil membekuk Sah Thian Yu. Namun dalam pembicaraan selanjutnya dikatakan kalau Ban-kiam hweecu telah menerima sepucuk surat yang ditanda tangani oleh seseoran...