Pastikan kamu sudah vote sebelum membaca, dan comment setelah membaca😉
💫💫💫
Chapter 2 - Peduli?
-
You act like you know me, but you never will.
💫💫💫
"MBOK, aku berangkat sekolah, ya!" Dilla menaikkan volume suaranya karena ia berada di teras rumahnya.
"Iya, Dek!" Mbok Sumi, pembantu Dilla yang berusia 42 tahun itu berteriak menyahuti ucapan cewek itu.
"Udah siap, Dek?" tanya Pak Adi.
Dilla mengangguk, "Udah, Pak." jawab Dilla sambil tersenyum.
"Bang Raka mana?" tanya Dilla bingung.
"Udah berangkat kuliah tadi, katanya ada urusan sebentar. Nanti Bang Raka yang jemput Adek," jawab Pak Adi yang membuat senyum Dilla mengembang.
"Oke."
Mobil yang ditumpanginya pun sampai disekolah pukul 7 lebih 10 menit. Buru-buru Dilla mengucapkan terima kasih, lalu berjalan cepat menuju lokernya.
"Dilla!" pekik Renata, sahabatnya yang langsung membuat Dilla tersentak.
"Ngapain lo ngagetin gue? Kurang kerjaan banget," cibir Dilla.
"Ayo ke kelas, kayaknya Pak Raihan udah dateng," ucap Renata tanpa menghiraukan cibiran Dilla.
Sesampainya dikelas mereka, terlihat Pak Raihan yang sedang menerangkan materi di papan tulis. Renata pun mengetuk pintu dan masuk kedalam kelas dengan santai.
"Maaf, Pak. Kita telat," ucap Renata.
Pak Raihan tersenyum pada Renata. "Kamu gak telat kok," ucap Pak Raihan yang membuat Renata dan Dilla menghembuskan napas lega.
"Tapi, kamu telat, Aradilla," lanjut Pak Raihan yang membuat Dilla kesal.
Apalagi sih cobaan gue hari ini? batin Dilla kesal.
"Kenapa, Pak?" tanya Dilla berusaha sabar.
"Karena Renata tidak membawa tas, sedangkan kamu membawa tas."
"Lah, apa hubungannya Pak?" tanya Dilla bingung.
"Itu tandanya, berarti Renata sudah masuk kelas dari tadi, sedangkan kamu baru masuk kel—"
"Assalamualaikum, Pak. Maaf saya telat," ucap seseorang dengan nada santai.
Dilla menoleh kearah pintu kelasnya, lalu memutar bola matanya malas saat melihat Evan yang berjalan santai kearah Pak Raihan.
"Kamu juga! Kamu sudah telat 20 menit! Renata, kamu duduk." ujar Pak Raihan.
"Lah, Pak. Ta— tapii—"
"Gak ada tapi-tapian! Kalian semua buka halaman 47 dan kerjakan latihan itu dari nomor 1 sampai 30. Sekarang saya akan mengurus Dilla dan Evan," ujar Pak Raihan.
Dilla dan Evan pun mengikuti Pak Raihan menuju halaman sekolah. Dilla dan Evan mendengus karena sudah seratus persen tahu apa yang akan selanjutnya terjadi.
"Kalian berdua, sapu halaman ini sampai bersih. Selesai pelajaran Biologi, saya akan kesana untuk mengecek hasil pekerjaan kalian," ucap Pak Raihan.
"Baik, Pak." ucap Dilla dan Evan serempak.
Pak Raihan pun berjalan kembali ke kelas meninggalkan Dilla dan Evan. Dengan malas, Dilla pun mengambil sapu lidi untuk menyapu.
"Lo kok telat?" tanya Evan yang membuat Dilla mengerutkan keningnya.
"Hah? Lo ngomong sama gue?" tanya Dilla bingung.
Evan mendecak. "Gak, gue ngomong sama daun," jawabnya ketus.
Dilla menaikkan kedua bahunya cuek. "Oh," sahut Dilla.
"Ya gue ngomong sama lo lah," ucap Evan tiba-tiba, membuat Dilla menoleh kearah Evan.
"Kenapa?" tanya Dilla sambil mengerutkan keningnya.
"Kenapa lo telat?" tanyanya lagi.
"Kepo lo, suka-suka gue lah mau telat atau enggak," jawab Dilla santai.
Evan mendengus, lalu tiba-tiba tersentak saat melihat Dilla yang sedang menyapu tiba-tiba tersandung batu dan lututnya berdarah.
"Lo kenapa tiba-tiba jatuh sih?" tanya Evan kesal.
Dilla tidak menjawab, matanya mulai berkaca-kaca karena menahan nyeri pada lututnya. Evan menatap Dilla kasihan, lalu mengulurkan tangannya kerarah Dilla. Dilla menatap tangan Evan, lalu meraihnya.
"Gue gak perlu dikasihanin," ucap Dilla pelan.
"Gausah geer, gue ngelakuin ini pure karena mau nolongin lo," sahut Evan ketus.
Dilla mencibir, "bullshit."
Evan mengabaikan cibiran Dilla, dan langsung membawa Dilla menuju ke UKS. Untungnya jam belajar mengajar sedang berlangsung dan koridor sedang lumayan sepi.
"Duh, PMRnya kok gak ada sih," gumam Evan sesampainya di UKS.
Setelah menaruh Dilla di tempat tidur, Evan langsung keliling UKS untuk mencari dokter, atau setidaknya PMR. UKS di SMA Tunas Bangsa ini memang terbilang luas, dan lokasinya yang disebelah perpustakaan cocok untuk cabut pelajaran.
"Gue aja yang ngobatin deh ya?" tanya Evan meminta persetujuan dari Dilla.
Dilla masih meringis, tapi mengangguk pelan. Dengan telaten, Evan mengobati luka Dilla yang cukup parah.
"Lo istirahat aja, nanti gue yang bilang ke Pak Raihan," ucap Evan.
Dilla pun menyelimuti dirinya dan beristirahat sebentar.
💐💐💐
"DILL, lo kenapa?" tanya Renata tiba-tiba, tepat saat bel istirahat berbunyi.
"Hah? Gue— gue kesandung, terus yaa.. Begini akhirnya," jawab Dilla seadanya.
Renata menghembuskan napasnya kasar. "Lain kali hati-hati dong, Dill." Renata mendengus, lalu tiba-tiba senyumnya mengembang. "Oh iya, masalah halaman itu udah clear, ya. Semuanya udah disapu sama Evan," ucap Renata.
Dilla tersentak, "Serius lo? Gak salah denger gue? Dia kan orang gila, mana mungkin mau bantuin gue nyapu halaman," ujar Dilla.
"Yahh, gak percaya. Dia kan yang ngobatin luka lo ini? Wah, kayaknya dia suka deh sama lo," ucap Renata blak-blakan.
"Sok tau lo, kocak. Udah deh, gue sekarang mau makan ke kantin, laper."
Sesantai itu ucapannya. Padahal dalam hatinya, Dilla masih kagum, ternyata Evan sebaik itu.
🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
Amare [ALS #1] ✔️
Teen Fiction[COMPLETED] Jangan pernah jatuh cinta. Itulah prinsip yang ditanamkan baik-baik di pikiran Aradilla Zavani Wijaya. Cewek yang masih berusia 16 tahun itu membentengi dirinya sendiri dari rasa cinta. Dilla bukan anak broken home, atau anak yang melamp...