Pastikan kamu sudah vote sebelum membaca, dan comment setelah membaca😉
🍂🍂🍂
Chapter 10 - Panik
~
Love ain't never been so close, but so far away.
🍂🍂🍂
Brak!
Raffael terlonjak kaget melihat Dilla membanting bukunya keatas meja dengan sadis.
"Eh yang disana jangan berisik," tegur penjaga perpustakaan.
Dilla hanya menoleh kesumber suara, lalu kembali menatap Raffael yang terlihat takut.
Cowok nih? batin Dilla sambil mengerutkan keningnya.
Setelah menetralkan kembali ekspresinya, Dilla duduk berhadapan dengan Raffael.
"Eh tai! Lo ngapain ngasih nomor gue ke Abang lo?" tanya Dilla sambil menatap tajam Raffael yang tidak berkutik.
"Dia yang maksa," jawab Raffael ketus, setelah mengumpulkan keberaniannya. Sebenarnya Raffael tidak takut, hanya kaget.
"Dan lo kasih? Raff, he is just your brother. Lo gak punya keberanian gitu buat lawan dia?"
"Kalo gak gue kasih, dia bakal ngira kalo gue suka sama lo," ucap Raffael ketus.
"Then? Itu cuma hal yang ada dipikiran dia, dan kenyataannya? Enggak kan? Lo gak suka sama gue," ujar Dilla ketus.
Raffael menaikkan sebelah alisnya, lalu berkata dengan seringai yang menyebalkan dimata Dilla. "Kalau nyatanya, gue suka sama lo gimana?"
Dilla memalingkan wajahnya dari Raffael. Kenapa jadi dia yang tidak berkutik?
Mendengar tawa Raffael, Dilla kembali menatap Raffael yang sedang tertawa.
Gak jelas banget nih cowok, batin Dilla sambil mendengus.
"Bercanda," ucap Raffael yang masih terlihat senang melihat Dilla yang salah tingkah.
"Gak lucu!" ucap Dilla berusaha agar terlihat galak, untuk menutupi sikap tak wajarnya tadi.
"Gue bakal ganti nomor. Kalo soal line, lo kasih id line lo aja, biar nanti gue add. Untuk nomor yang baru, gue pastiin abang lo itu gak bakal tau, termasuk lo!" Dilla mendesis diakhir kalimat, lalu bangkit dari duduknya.
"Lo mau kemana?" tanya Raffael yang masih terkejut. Baru pertama kali ada cewek yang memarahinya seperti ini.
"Pulang," jawab Dilla. Lalu buru-buru melanjutkan ucapannya saat melihat Raffael mau membalas ucapannya. "Gue lagi gak mood. Lo mau keluar dari sini muka lo bonyok?"
Raffael menggeleng. "Yaudah. Pulang sono!"
Dilla mendengus, lalu mengambil tasnya, dan pergi meninggalkan Raffael. Saat ingin membuka pintu perpustakaan, Dilla terkejut mendengar suara ringisan seseorang.
"Aduh, gila sakit banget."
"Eh! Sorry banget gue gak senga—" Dilla membulatkan matanya melihat Evan yang sedang mengusap keningnya pelan.
"Sakit bege!" ucap Evan ketus.
"Ya, maaf."
Dilla pun dengan terpaksa membawa Evan ke UKS yang untungnya berada disebelah perpustakaan. Keadaan UKS sama seperti saat Dilla yang terluka. Sepi. Yang ada hanya dua orang yang sedang tiduran, entah sakit atau hanya malas pulang.
"Perih banget anjir!" umpat Evan saat Dilla menempelkan kapas yang sudah ada obat merahnya ke dahi Evan yang memerah.
"Kalo abis kepentok ya perih lah, stupid." Dilla mengumpat sambil menekan kapas itu ke dahi Evan.
"Aduh! Sakit woi! Lo gak ada lembut-lembutnya dikit apa kalo lagi ngobatin orang?!"
Dilla mengabaikan ucapan cowok itu, lalu mengobati luka Evan dengan cepat.
"Eh, gue pulang ya. Sama-sama!" ucap Dilla setelah mengecek jam tangannya. Sepertinya Pak Adi sudah menunggu lama.
"Main pulang aja lo!" Evan menarik tas Dilla, yang membuat Dilla kembali berhadapan dengannya.
"Gue udah dijemput," ucap Dilla ketus.
"Yaudah bareng. Lo harus memastikan gue sampe motor gue dengan selamat. Tanggung jawab lo mana, hah?"
Dilla yang dimarahi seperti itu merasa tidak terima, lalu menekan dahi Evan yang sudah terbalut plester dengan keras. "Terus ini apa, hah? Plesternya nempel sendiri?!"
Evan kembali meringis. "Yaudah anterin gue sampe motor kek. Tanggung jawab itu gak boleh setengah-setengah."
Setelah mengangguk, dengan terpaksa, Dilla pun berjalan keluar UKS diikuti Evan. Bersamaan dengan itu, Raffael keluar perpustakaan dan melihat mereka berdua, lalu menaikkan sebelah alisnya.
"Katanya mau pulang?" tanya Raffael sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.
"Ini mau pulang," jawab Dilla. "Lo sendiri? Daritadi ngapain aja?"
Raffael melirik Evan, lalu menjawab dengan nada sarkastik. "Belajar."
"Gue pulang dulu," ucap Dilla tanpa memperdulikan nada sarkastik Raffael saat menjawab pertanyaannya.
Setelah 'memastikan' Evan naik motornya dengan selamat, Dilla pun menghampiri Pak Adi yang sudah siap di mobil.
Drrrttt.. Drrrttt..
Dilla mengerutkan keningnya saat Evan menelfon.
"Halo."
"Apa ini teman dari Evan Andhika?"
"Iya, saya temannya." Dilla menjawab ragu.
"Saya suster dari Rumah Sakit Pondok Indah ingin memberi tahu kalau teman anda menabrak tiang lalu lintas saat ingin memberhentikan motornya dipinggir jalan."
"Oke, saya akan segera kesana."
Dilla pun dengan cepat memutuskan telfonnya.
"Pak, ke RSPI ya!"
💫💫💫
Raffael atau Evan ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amare [ALS #1] ✔️
Novela Juvenil[COMPLETED] Jangan pernah jatuh cinta. Itulah prinsip yang ditanamkan baik-baik di pikiran Aradilla Zavani Wijaya. Cewek yang masih berusia 16 tahun itu membentengi dirinya sendiri dari rasa cinta. Dilla bukan anak broken home, atau anak yang melamp...