Kala Hujan Menghadang 💦

8.1K 619 606
                                    

Pagi itu, hujan turun. Sangat deras. Rintiknya beradu dengan kokohnya genting di atap rumah. Udara dingin nan lembutnya memaksa masuk lewat lubang ventilasi yang terpampang di atas jendela kamar. Meski sebetulnya sudah dihalau dengan sehelai gordin. Tapi, situasi ini sangat menenangkan. Situasi yang membuat tubuhku tak mau digerakkan. Barang sedikit. Apalagi diajak beranjak dari tempat tidur, yang kala itu terasa sangat hangat. Tentu tidak. Sedetik saja, tidak.

Hari itu adalah Hari Senin. Dan, selayaknya seorang pelajar, Hari Senin pagi bukan lagi waktunya untuk bersantai-santai di atas tempat tidur. Sebab, ada agenda rutin yang perlu diikuti pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Ialah Upacara Bendera di Lapangan Utama Sekolah. Tapi, lain halnya denganku. Pagi itu, aku kesiangan. Kalah garang dengan kehangatan kamar yang seolah-olah menina-bobokan.

Sebenarnya, aku bisa saja tidak terlambat bangun pada pagi hari itu. Mengingat beberapa jam sebelumnya—tepatnya sekitar pukul lima lewat lima belas menit—aku sudah terbangun untuk menjalankan ibadah Salat Subuh. Hanya saja, hujan yang terus merundung selama semalaman membuat mata ini seketika terpejam kembali, hingga akhirnya aku baru bisa terbangun sekitar pukul tujuh kurang.

Didului dengan tarikan kasar pada otot-otot di tubuhku, aku memiringkan kepalaku ke arah jendela kamar yang ternyata gordinnya telah terkait. Nampaknya, mama sempat melakukan itu sebelum berangkat ke tempat kerjanya. Sayangnya, beliau memang tidak membangunkanku; atau mungkin sudah, tapi dasar akunya saja yang sulit untuk dibangunkan. Seketika, beberapa pilihan pun menghantui kepalaku.

Apa gue harus ke sekolah?

Tapi, udah telat.

Yang ada malah disuruh bersih-bersih.

Apa ke taman aja, ya? Cari inspirasi?

Tapi, ini masih awal-awal semester. Masa udah mau bolos aja?

Kulihat dari jendela kamar, hujan masih saja turun. Entahlah, mungkin ia kesal. Ia tak kuasa menahan rindunya kepada tanah di pelataran sana, yang selalu saja menimbulkan aroma harum ketika mereka bertemu—bak sebuah perayaan. Terlihat betapa romantisnya Tuhan, mempertemukan dua hal yang berbeda tempat sekalipun. Mungkin aku akan sedikit iri pada mereka. Sedikit, yang kemudian kulebih-lebihkan.

Tuhan memang menyediakan segala perumpamaan di alam. Hanya saja, manusia kurang bisa mengambil makna dari apa yang telah Ia perlihatkan kepada mereka. Manusia cenderung terburu-buru, ingin secepat mungkin tercapai. Padahal, tetes hujan yang jatuh ke tanah pun membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Bahkan, adakalanya pula saat mereka tidak dipertemukan.

Atas itu semua, Tuhan pasti punya alasannya sendiri. Tuhan punya rahasia yang tidak mugkin Ia ceritakan seutuhnya. Namun, aku percaya Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi hambanya; termasuk aku, termasuk kamu. Apapun yang terjadi, kita hanya perlu melapangkan dada. Mencoba ikhlas, walau rasa kecewa inginnya terus membekas. Percayalah, Tuhan pasti punya rencana yang indah.

Mungkin itu yang bisa kutanamkan dalam benakku. Sebuah pengantar yang entah datangnya dari mana dan entah sejak kapan tertanam di sana. Tapi, yang jelas untuk saat ini aku belum bisa menerapkan hal itu dalam kehidupanku sehari-hari. Ya, namanya juga manusia. Butuh waktu untuk menerima segalanya. Butuh waktu untuk melupakan yang sudah terikhlaskan dan juga butuh waktu untuk memulai kembali cerita yang sulit dijelaskan.

Perlahan, aku terbangun. Mataku yang masih sayu menolak bertatapan langsung dengan cahaya matahari yang membias lewat jendela kamarku. Mereka memilih untuk menoleh ke arah yang berlainan. Titik fokusnya tertuju pada sebuah benda pipih yang tergeletak sendirian di atas meja, tepat di samping tempat tidurku. Sebuah ponsel pintar berwarna hitam tengah menunjukkan waktu yang seolah berubah begitu cepat, sedari terakhir kali aku mengeceknya.

"Ke taman aja, ah!" Batinku.

Kulihat, awan yang terus bergerak di luar rumah pun mulai kehabisan stok airnya. Tersisa rintik-rintik kecil seperti salju, mungkin sedikit lebih kasar. Sangat memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke taman, yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Siapa tahu sampai di sana hujan akan benar-benar berhenti? Ya, begitulah harapanku. Bukan kali ini saja tentunya. Setiap kali hujan turun, aku adalah satu dari sebagian kecil orang yang menginginkannya berhenti.

Jujur, aku memang kurang suka dengan kehadiran hujan. Pernah suatu hari, ketika aku sedang mengetik di laptop kesayanganku, hujan tiba-tiba saja turun dengan sangat deras. Padahal, saat itu aku sedang dalam keadaan yang terbilang sangat baik untuk menulis. Dan, akhirnya apa yang ada di kepalaku saat itu pun hilang begitu saja—karena terlalu sibuk memaki ciptaan Tuhan yang sebenarnya sungguh indah. Tapi, sayangnya itu hanyalah alasan yang terlalu sederhana. Alasan kompleksnya akan kuceritakan nanti.

Di balik kebencianku dengan hujan, harus kuakui; ia memang punya nuansanya sendiri. Saat ia datang, semua orang pergi. Damai. Berada di bawah rintiknya pun sebenarnya menenangkan. Hanya saja, kebutuhanku akan barang elektronik dan sikap kerasku yang enggan membawa jas hujan ke mana-mana, membuatku mengurungkan niat untuk bercengkerama dengan tiap rintiknya yang jatuh.

Tapi aku mempunyai keinginan, bila suatu hari nanti aku bisa kembali menikmati hujan. Alasannya sederhana, karena aku yakin sebetulnya hujan mampu membuatku tenang. Dan, ketika aku mampu untuk tenang, kata-kata yang ingin diucapkan oleh relung hatiku pun pasti akan lebih mudah diungkapkan. Tapi, kapan itu akan terwujud? Jujur, aku tidak tahu. Yang jelas, untuk saat ini aku masih menolak kehadirannya. []

💧🍃🍃🍃💧

Demi hujan, yang kata orang titisnya mampu menyapu kenangan
Demi hujan, yang kata orang derunya mampu memberi ketenangan

Kau adalah manusia tanpa perasaan yang membuat dua hal itu terasa berbeda

Dalam duniaku, titis hujan malah menciptakan kecemasan
Dalam keseharianku, deru hujan malah menumbuhkan ketidakjelasan

Tatkala orang-orang sibuk mensyukuri dan menikmati kedatangannya
Aku adalah satu dari sebagian kecil orang yang menginginkannya berhenti

Demi hujan, yang bagiku hadirnya menyebalkan
Remahanmu akan coba kubunuh pelan-pelan
Walau selalu menemui kegagalan

💧🍃🍃🍃💧

Hai! Para pembaca setia I Hate Rain. Gimana, nih, hasil revisiannya? Masuk nggak? Semoga masuk, ya?

Di part ini, alhamdulillahnya tidak ada yang berubah. Saya cuma membuat narasinya lebih panjang saja dan dengan tambahan sepenggal puisi pengantar di penghujungnya. Jadi, part ini sudah berasa jadi saya bangetlah, ya? Hehehe...

Oke, oke.. Terima kasih untuk kawan-kawan yang sudah mau repot-repot membaca. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalian untuk membuat cerita ini semakin bisa dijangkau banyak orang. Dan, sampai bertemu di part selanjutnya. See you..

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang