36 Hari Sebelumnya 💦

626 112 210
                                    

Memiliki nama dengan awalan huruf A memang menyebalkan. Sebab, kita dituntut untuk selalu menjadi yang terdepan dalam setiap kegiatan. Contoh paling sederhananya adalah ketika ujian sekolah. Ketika daftar nama di kelas yang diurutkan berdasarkan abjad, membuat kita duduk di bangku paling depan. Di mana—itu berarti kita akan berhadapan langsung dengan mata elangnya para pengawas.

Tidak masalah—sebetulnya. Aku sendiri sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Meski sadar bahwa diri ini tidak terlalu pintar, aku lebih memilih untuk menyelesaikan ujianku sendiri. Tidak gelisah seperti mereka, tanya sana-tanya sini hanya untuk mendapatkan jawaban yang belum tentu benar. Aku lebih banyak diam; menoleh kalau dipanggil, merespon kalau ditanya. Kalau tidak, aku akan larut dalam dialog dengan pikiranku sendiri.

Sementara, waktu terus berjalan. Jam di tangan kiriku sudah hampir menunjukkan pukul setengah sembilan. Mataku mulai kehilangan fokus. Sesekali, ia melirik lembar jawaban. Sesekali, ia memindai lembaran soal. Sesekali, ia menatap ke luar kelas atau sudut-sudut ruangan yang lainnya. Sesekali, ia termangu dan membayangkan tentang Dinar. Sesekali ... iya, perempuan itu memang tidak pernah berhenti mengganggu pikiranku.

Setelah tidak sengaja bertemu pada malam hari itu, kita kembali ke rumah masing-masing. Aku sempat duduk di depan laptop untuk menceritakan semuanya. Kamu—entah menyempatkan apa. Aku sempat memikirkan nasi goreng yang kamu pesan. Yang kemudian kamu bungkus, karena mood-mu sedang tidak baik. Kamu—bahkan tidak sempat membaca pesanku. Aku sempat memikirkan keadaanmu. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah besok akan tetap sekolah? Kamu—ternyata keesokan harinya datang dengan kondisi yang benar-benar berbeda.

Hidup kembali normal—dalam dimensimu. Seolah-olah, apa yang terjadi pada malam itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Senyummu kembali merekah. Keceriaan mulai datang dari arah mana saja. Aku tidak melihat ada yang aneh dalam dirimu. Aku tidak merasa ada yang berbeda, kecuali hobi membacamu yang semakin menjadi-jadi. Rain, apa kamu baik-baik saja? Kenapa tidak pernah mau cerita, kalau memang tidak baik-baik saja? Sebetulnya, apa yang kamu sembunyikan? Semuanya terlihat rapi. Kamu terlalu pandai memainkan peran.

"Aryo ngelamun, Pak!"

Suara yang cukup mengagetkan, walau terbilang pelan. Tanpa dilihat pun sebenarnya aku sudah tahu siapa pelakunya; Riko. Wajahnya yang tampak menyebalkan, terpampang dengan jelas di ambang pintu. Aku berdecak, antara kesal dan gemas. Pekan ujian boleh saja memisahkan kita. Tapi soal keisengan, temanku yang satu ini bisa melakukannya di mana saja. Walau berbeda meja, atau bahkan ruangan sekalipun.

"Udah ... kumpulin aja, Yo. Jangan ragu, kantin sudah menunggu ...." katanya. Sengaja diperjelas di bagian akhirnya.

Sekali lagi, aku melihat jam di tangan kiriku. Kombinasi kedua jarumnya menunjukkan pukul setengah sembilan lewat sepuluh menit. Masih lama, pikirku. Masih ada waktu sekitar dua puluh menit lagi. Namun, lembar jawaban yang sudah terisi dengan lengkap dan perkataan Riko yang terus terngiang-ngiang dalam kepalaku, membuatku tidak punya pilihan lain, selain menyudahi ujian di sesi pertama.

Aku berjalan ke meja pengawas, meletakkan lembar soal dan jawabanku di sana. Kemudian, keluar dari kelas untuk membaur dengan Riko dan teman-teman yang lainnya. Riko mengajakku ke kantin, pada saat itu. Aku mengiyakan, walau sebenarnya hanya berniat untuk sekadar jalan-jalan saja. Menyebalkannya adalah dalam setiap langkahnya, Riko tidak pernah berhenti membahas tentang ujian yang baru saja kita selesaikan. Sungguh, sebuah topik yang sama sekali tidak kuharapkan.

Tapi, apalagi yang harus kita bahas?

Sesuatu tentang Dinar?

Sepertinya, belum ada yang menarik.

Perempuan pecinta hujan yang akhir-akhir ini menjelma menjadi seorang kutu buku?

Aku bahkan berharap untuk tidak bertemu dengannya dulu.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang