Dua puluh delapan hari sudah aku mengenalnya-terhitung dari pertama kali kita bertemu. Sudah hampir genap satu bulan. Tapi, pandanganku tentang perempuan itu masih saja terasa ganjil. Bagaimana tidak? Ia hanya menghendaki kita bertemu sebanyak tiga kali. Itu pun hanya sebentar. Tanpa banyak topik pembicaraan. Tanpa banyak pertanyaan yang menemukan jawaban. Sial, salah satunya malah tanpa basa-basi sama sekali.
Memang, ia selalu menggunakan format yang sama di setiap pertemuan. Tidak banyak bicara, tapi langsung memberitahukan sesuatu. Kemudian, pergi dan hilang-tanpa bisa kutelusuri jejaknya. Andai mau bersabar-sedikit demi sedikit-pertanyaan di kepalaku pasti akan terjawab. Seluruhnya. Tapi, bagaimana mau bersabar? Semakin banyak pertemuannya, semakin lama ia memberi jeda untuk pertemuan berikutnya. Semakin banyak pertanyaan yang terjawab, semakin banyak pula pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul.
Aneh. Tidak masuk akal. Menyebalkan. Adalah tiga kata yang selalu kulontarkan untuk menggambarkan situasi ini. Sebenarnya, aku bisa saja bertemu dengan Dinar. Kalau aku mau. Kalau aku sedikit memaksa. Aku hanya perlu memberanikan diri untuk bertamu ke rumahnya. Mengetuk pintu depannya. Lalu, menghadapi pertanyaan yang sudah pasti akan dilontarkan oleh seseorang dibaliknya. Ah, apa jangan-jangan ia memang berharap begitu? Tapi, tidak. Kurasa masih terlalu cepat. Terlebih, letak rumahnya saja kuketahui dengan tidak sengaja.
Tinnnnn!
Sial! Aku sangat terkejut dengan suara klakson motor yang tiba-tiba saja berbunyi. Cukup panjang. Membuat tubuhku terlonjak, sekaligus membangunkanku dari lamunan. Refleks, aku menoleh ke arah datangnya suara. Cukup cepat. Dan, kebetulan pelakunya juga menoleh ke arahku. Sorry, bro! Kepencet, ungkapnya. Lantas, pergi begitu saja. Entah kenapa, pagi itu orang-orang memang sangat terburu-buru. Tunggu, apa ada yang salah dari Hari Senin?
Ah, aku lupa. Hari Senin memang selalu menjadi hari yang paling dikutuk oleh para pelajar. Bukan karena perannya sebagai pemberi ucapan "selamat datang". Tapi, karena ucapan "selamat datang" itu dilakukan dengan sebuah kegiatan rutin bernama Upacara Bendera. Iya, inilah yang membuat mereka tidak bisa bersikap santai. Tanpa terkecuali Riko, yang lebih dari lima menit sebelumnya juga meninggalkanku dengan cara yang sama.
Mungkin aku adalah sebagian kecil pelajar yang tidak terlalu ambil pusing dengan Upacara Bendera. Bukan tanpa alasan. Hal ini bisa terjadi, karena aku memang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler berbau Bela Negara. Sebuah kondisi yang-mau tidak mau-mewajibkanku untuk mengakrabkan diri dengan berbagai jenis upacara. Mulai dari yang hanya sekedipan mata, sampai yang berhasil membuat kaki berdiri layaknya seekor bangau.
Pagi itu, pembawaanku terbilang santai. Tidak seperti yang lain; meributkan topi, dasi, ikat pinggang, dan lainnya sebagainya. Aku sudah terbiasa berpakaian rapi. Jadi, dihukum karena atribut yang tidak lengkap hanyalah sebuah mitos yang tidak pernah kurasakan sensasinya. Hanya saja, aku agak malas untuk berjalan ke lapangan. Kurasa teman-temanku juga begitu. Akan tetapi, alasannya saja yang berbeda.
Aku malas berjalan ke lapangan, karena pada saat itu aku harus melakukannya sendiri. Mengingat, Riko yang sudah entah ke mana. Dan teman-teman lain yang masih saja disibukkan dengan urusannya masing-masing. Bila memaksa untuk tetap berjalan sendiri, pastinya akan memunculkan sebuah alasan baru. Karena hampir semua barisan peserta upacara menghadap ke kelasku. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya, ketika ratusan pasang mata mengeja setiap langkah yang kubuat. Rasanya seperti pelaku kejahatan besar yang tengah diadili massa.
Aku pun melengos ke arah yang berlainan. Ada satu opsi lain yang biasanya kuambil dalam situasi seperti ini, yaitu: berjalan melewati koridor. Ya, walaupun jarak tempuhnya akan sedikit lebih jauh, karena harus memutar. Tapi, buatku itu akan jauh lebih baik, daripada harus menjadi pusat perhatian orang-orang yang tidak semuanya kukenal. Akhirnya-tanpa meragu lagi-aku pun meneruskan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...