210 Hari sebelumnya 💦

2.8K 342 618
                                    

Pagi itu, lagi-lagi aku bangun kesiangan. Namun berbeda dengan sebelumnya. Senin yang lalu, aku memang terlampau malas untuk beranjak dari tempat tidur. Sedangkan, kali ini aku sengaja berpura-pura untuk memejamkan mata. Akal-akalan bodoh itu harus kulakukan untuk memuluskan rencana yang sudah dibuatkan Riko untukku. Iya, kami memang berniat untuk membolos. Untuk apalagi, kalau bukan untuk menyelediki perempuan misterius yang kutemui di Taman Kelinci dua hari yang lalu?

Riko bukanlah tipikal pelajar yang pandai. Ya, bisa dibilang biasa-biasa saja. Tapi, tingkat kerajinnnya tidak usah diragukan lagi. Ia dikenal sebagai siswa yang baik, walaupun naluri bandelnya selalu terdeteksi olehku. Masalahnya begini; selama hampir dua tahun aku mengenalnya, aku belum pernah sekali pun mendengar ia membolos. Lalu, bagaimana jadinya jika ia membolos nanti? Ah, mungkin ia membolos dengan alasan lain. Akunya saja yang tidak tahu. Tapi, rasanya seperti tidak mungkin.

Seperti yang sudah kubilang, kita berbeda-dalam segala hal. Aku akan sangat malas bila harus mengikuti pembelajaran di sekolah, apalagi mata pelajaran peminatan-yang dalam hal ini dipegang oleh Matematika dan Ilmu-ilmu Alam. Entah karena salah jurusan atau bagaimana, tapi aku akan sangat bersemangat jika harus mengikuti kelas Bahasa Indonesia-yang kategorinya adalah pelajaran umum. Mungkin memang sebaiknya aku memilih penjurusan Bahasa. Sayangnya, di sekolahku hanya tersedia dua jurusan, yaitu: IPA dan IPS.

Lalu, kenapa aku tidak IPS saja? Padahal, ruang lingkupnya masih menyerempet? Faktor pergaulanlah yang membuatku menolak pilihan itu. Memang dengan sikapku yang suka membolos, aku lebih layak menjadi anak IPS ketimbang IPA. Hanya saja, kalau api bertemu dengan angin, sudah pasti akan semakin membesar. Namun, ketika api itu bertemu dengan air, ia akan mereda dan hilang. Mungkin itu yang bisa kuwakilkan sebagai alasan. Bisa benar, bisa juga tidak. Mengingat, setiap orang pasti punya pemikirannya masing-masing.

Asik melamun, tubuhku tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah getaran kecil. Ternyata, telepon genggamku mendapatkan panggilan masuk. Ada nama Riko di sana, lengkap dengan pose fotonya yang terpampang jelas. Tanpa pikir panjang, aku pun mengangkat panggilan itu. Setelah mendengar suara yang menandakan bahwa panggilan itu telah diangkat, aku langsung mendengar ia mengoceh sendiri, tanpa mempersilakan sedetik pun waktunya untukku.

"Hallo?"

"Yo?"

"Sorry, ya? Kayaknya, rencana kita batal, deh."

"Gagal nge-bolos gua," tuturnya, dengan nada bicara yang tergesa-gesa.

Ia pun menjelaskan secara lebih terperinci, kenapa bisa-bisanya sampai ia gagal membolos. Usut punya usut, ternyata ia dibangunkan oleh orangtuanya dan diminta untuk segera berangkat. Iya, karena ini adalah pengalaman pertamanya, aku menyarankannya untuk menggunakan trikku saja, yaitu: berpura-pura kesiangan. Tapi, ya, mungkin memang tipikal orangtua kita saja yang berbeda. Jadi, hasil yang didapat pun juga berbeda.

Orangtua Riko selalu mengingatkan di setiap kejadian, sedangkan orangtuaku hanya mengingatkan di awalnya saja. Maksudku, mereka pernah berkata bahwasanya aku harus bisa mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Hanya saja, selepas berkata demikian; mereka lebih bersikap diam. Mereka bertindak seolah-olah menyerahkan semuanya kepadaku. Mungkin kalau mereka memilih untuk bicara, kurang lebih bicaranya akan seperti ini: Terserah kamu, Yo. Mau bolos atau enggak. Kan, nanti kamu juga yang ngerasain akibatnya.

Iya, aku mengerti. Kedua orangtuaku hanya ingin melatih tanggung jawab dari anak tunggalnya saja. Pernah suatu hari, aku membolos sampai tiga hari berturut-turut. Sampai pekerjaan rumah pun akhirnya menumpuk. Tapi, berhubung aku ingat perkataan mereka; jadi, ya, kuselesaikan semua. Kukejar apa yang seharusnya kudapatkan. Dan, mereka pun tidak berkomentar apa-apa. Dari situ, aku menyimpulkan bahwa membolos hukumnya boleh, asalkan kamu bisa mengejar ketertinggalanmu.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang