Kurang dari lima menit, aku sudah bisa menginjakkan kakiku di pinggiran taman itu. Sepetak lahan yang tidak terlalu luas, tapi sangat menenangkan. Tempat di mana biasanya aku menerjemahkan isi kepalaku ke dalam bentuk tulisan. Sebenarnya, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya satu belokan saja. Namun, berhubung saat itu hujan masih belum mau berhenti, aku pun memutuskan untuk menempuh perjalanan dengan sepeda motor.
Taman itu bernama Taman Kelinci. Soal penamaannya, aku tidak terlalu mengerti kenapa sampai dinamakan seperti itu. Mengingat, pada kenyataannya tidak ada satu pun kelinci yang terlihat mondar-mandir di sana. Tapi, dengar-dengar dulunya di sana memang banyak kelincinya. Nahasnya, satu persatu harus lenyap oleh tangan-tangan yang tidak bertangung jawab.
Sayang memang. Bayangkan saja, seharusnya pada saat itu aku bisa duduk di salah satu sisi bangkunya dengan dikelilingi oleh kelinci-kelinci yang lucu. Nyatanya, aku hanya ditemani oleh rerumputan liar, sedikit tanaman hias, beberapa pohon yang tidak terlalu tinggi, beberapa kali terpaan angin, dan titisan air yang mulai berhenti. Rasanya, tidak terlalu buruk. Aku pun menyempatkan untuk menghela napas.
Terlepas dari seberapa berubahnya Taman Kelinci—yang sebetulnya tidak bisa kurasakan—tempat itu sudah menjadi pilihan teratas dari daftar tujuanku, tatkala hasrat untuk menulis tengah menghantuiku secara sporadis. Tempatnya yang nyaman, suasananya yang tenang, dan jaraknya yang tidak terlalu jauh; menjadikan proses penerjemahan pemikiranku malah lebih sering terjadi di tempat ini, ketimbang di kamarku sendiri.
Pagi itu, Taman Kelinci terasa jauh lebih tenang dari biasanya. Wajar, mengingat jadwal rutinku berkunjung ke taman itu saat pagi hari adalah di Hari Sabtu dan Minggu. Sedangkan hari itu adalah Hari Senin; hari di mana semua orang disibukkan oleh kepentingannya masing-masing. Rasanya benar-benar sepi dan damai. Apalagi didukung dengan aroma tanah sehabis hujan. Sungguh, pagi itu adalah waktu yang sangat tepat untuk menulis.
Akhirnya, aku membuka laptopku yang sedari tadi terbungkus oleh tas punggung berwarna hitam. Nampaknya, ia juga sangat bersemangat. Pembawaannya ringan; terbilang lancar-lancar saja. Beruntung, karena laptop zadul ini terkadang suka mengambek tanpa sebab. Maklum, memang sebaiknya benda yang sudah berumur itu perannya digantikan; atau sekedar tidak perlu dibawa ke mana-mana. Tapi, ya, namanya juga kebutuhan. Mau gimana lagi? Mengingat, aku belum bisa menebus laptop yang lebih baru untuk menggantikan perannya.
Menit demi menit terus bergulir dengan sebagaimana mestinya. Kata demi kata kian termaktub dalam lembaran hitam di atas putih yang awalnya benar-benar kosong. Dan, saat itu kusadari bahwa terlalu asik mengetik membuatku kurang memperhatikan sekitar. Taman yang tadinya sepi, sekarang mulai berpengunjung. Namun, tidak juga ramai. Hanya satu orang yang kulihat di sana. Duduk manis pada sebilah kayu dari satu-satunya ayunan yang terdapat di taman itu.
Nampaknya, ia perempuan. Rambutnya panjang; sedikit melewati bahu. Terlihat sepintas dari telinganya, ia berkacamata. Ia mengenakan jaket abu-abu berjenis hoodie kala itu, dipadukan dengan celana santai panjang berwarna hitam. Satu hal yang terpenting adalah ia sendiri. Iya, ia sendiri. Aku? Sendiri juga. Lantas, haruskah aku menghampirinya? Perempuan yang berjarak kurang lebih sepuluh meter dari tempatku mematung? Tapi, untuk apa?
Jika aku menghampirinya, kemungkinan yang terjadi adalah:
(1) Aku bisa mengenalnya.
(2) Ia pergi begitu saja, karena merasa terganggu.Namun, tiba-tiba saja ada satu pertanyaan yang muncul di kepalaku. Itu terjadi setelah aku semakin dalam memperhatikannya. Sepertinya, ia seumuran denganku. Kutaksir demikian. Kalaupun taksiranku meleset, paling tidak kita cuma berjarak satu atau dua tahun saja. Bisa lebih tua, bisa juga lebih muda dariku. Dan, pertanyaan yang muncul di kepalaku secara tiba-tiba itu adalah...
Kok dia nggak sekolah?
Aku pun mencoba untuk menerka-nerka jawabannya sendiri kala itu. Dan, beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi adalah:
(1) Ia sama sepertiku; kesiangan.
(2) Jangan-jangan ia bolos sekolah?
(3) Apa ia pindahan? Dan belum mendapatkan sekolah?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...