Sejak terakhir kali bertemu saat mengantarkannya pulang sore itu, Dinar tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Membuat deretan pesan yang sempat kukirimkan padanya hanya menunjukkan simbol centang dua. Itu pun belum biru. Yang menandakan bahwa pesan itu sebenarnya sudah ia terima, namun belum sempat ia baca. Tunggu! Belum sempat? Atau memang sengaja untuk tidak menyempatkan
Harus kuakui, Dinar memang tipikal orang yang tidak hobi menghabiskan waktunya untuk berbalas pesan. Ia akan melakukan hal itu, bila memang dirasa perlu. Tapi soal mengantarkannya pulang, Dinar tidak pernah absen menyisipkan namanya dalam daftar notifikasi di ponselku. Paling tidak untuk mengucapkan terima kasih. Namun, hari itu agak berbeda. Sebab, sampai sekitar pukul tujuh malam, Dinar seperti tidak menyentuh ponselnya sama sekali.
Setelah melakukan panggilan telepon untuk ke sekian kalinya-yang tidak berhasil merubah apapun-aku menaruh ponselku di atas nakas. Kemudian mengubah posisi tidur, dari miring ke kanan menjadi terlentang. Mataku menatap ke arah langit-langit, tanpa sedikit pun menaruh curiga. Rasanya seperti ... aku tidak bisa mengajukan pertanyaan apapun. Padahal-tidak bisa dipungkiri-kala itu ada perasaan tidak enak yang berusaha untuk mengganggu tidurku.
Laper ....
Bukan! Bukan itu!
Dinar adalah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kegelisahanku malam itu. Tapi, tidak ada lagi yang bisa kulakukan, selain menunggu kabar darinya. Lagipula, untuk apa aku bertindak sejauh ini? Memangnya Dinar siapa? Maka, kuputuskan untuk menuruti apa yang dikatakan oleh perutku. Tidak bisa dibohongi, berjam-jam mengurung diri dalam kekhawatiran memang membuatku lapar.
Tanpa pikir panjang, aku segera beranjak dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Sayangnya, aku tidak mendapatkan apa-apa di sana. Isi kulkas pun terkesan kosong. Sial! Sempat melirik ke arah dapur dan barisan mi instan yang tersusun rapi, namun rasa malas tiba-tiba saja membuatku mengurungkan niat. Aku takut bila dipaksakan memasak, hasilnya malah kurang enak. Malah mengganggu selera makanku. Jadi, kuputuskan untuk membeli saja.
Anggaplah jalan-jalan. Menyatu dengan dinginnya malam, kataku pada diri sendiri.
Setelah itu, aku kembali ke kamar, melapisi tubuhku dengan pakaian serba panjang, lantas berjalan keluar rumah. Aku tidak sempat berpamitan pada siapa pun, karena kupikir akan jauh lebih baik bila membiarkan mereka beristirahat. Lagipula, aku hanya pergi ke Taman Kelinci untuk membeli makan. Itu pun kalau ada yang mangkal. Kalau tidak, mungkin saat itu aku akan kembali ke rumah, lalu mempertebal niatku untuk memasak mi instan.
Tapi, malam itu sepertinya akan menjadi malam yang panjang untuk Pak Rozak, seorang pria paruh baya yang biasa menjajakan nasi goreng buatannya dengan berkeliling komplek, sebelum kemudian mangkal di Taman Kelinci. Sejujurnya, aku juga tidak tahu, apakah itu nama sungguhan atau bukan. Keisenganlah yang membuatku-secara tidak sengaja-membaca nama itu, terpampang dengan jelas di salah satu sudut gerobaknya, dengan ukuran yang cukup besar.
"Kurang tahu ini orang-orang pada ke mana. Mungkin libur," katanya. Menjawab basa-basiku, yang menanyakan para pedagang lain.
Aku memilih untuk tidak memusingkan hal itu, juga tidak melanjutkan basa-basi yang sudah kumulai sendiri. Mengingat, aneka sate dan mie ayam-yang biasanya dijajakan oleh pedagang lain-memang kurang menggugah seleraku malam itu. Lagipula, aku juga bukan tipikal orang yang nyaman berbasa-basi. Aku lebih senang larut dalam kesendirian, sebab aku adalah satu-satunya orang yang memilih untuk makan di tempat, pada saat itu. Paling tidak, sebelum sesosok perempuan dengan balutan jaket abu-abunya yang khas, membuat duniaku teralihkan.
"Pak, nasi gorengnya satu ya-" Perkataannya yang lirih itu terhenti, oleh ucapanku yang tiba-tiba saja menyerobot.
"Sedang aja, Pak. Makan di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...