5 Hari Sebelumnya

517 46 181
                                    

Pergi bersama Dinar di malam hari sudah menjadi sebuah rutinitas yang biasa untukku. Tak harus malam minggu seperti kebanyakan orang, malam apa saja bisa jadi. Asal kami memiliki waktu luang dan juga sedang ingin keluar, aku pasti mengajaknya keluar. Begitupun dengannya.

Sama halnya seperti malam itu. Dinar memintaku untuk mengajaknya keluar. Katanya bosan beberapa hari terakhir selalu di rumah saja. Cuma makan, tidur, minum obat, dan melakukan berbagai hal lain yang terbilang membosankan.

Semenjak pelariannya malam itu, Dinar benar-benar sakit. Demamnya cukup tinggi, diselingi dengan flu. Tapi, kondisinya berkata kalau kemarin dia bisa saja masuk sekolah. Sayangnya kemarin adalah hari sabtu, sekolah kami hanya melakukan kegiatan ekstrakurikuler saja. Alhasil, Dinar harus berteman dengan rasa bosannya sedikit lebih lama lagi.

"Eh, kak. Itu kayaknya Kak Riko, deh."

Dinar berkata di telinga kiriku saat aku sedang sibuk menanti kesempatan untuk bisa menyeberang jalan. Nadanya terdengar agak ragu-ragu.

"Mana?" tanyaku, seraya mengedarkan pandangan.

"Itu!"

Kali ini Dinar menunjuk seseorang yang baru saja sampai di halaman kafe yang juga menjadi tujuan kami. Tidak terlalu jelas memang, karena letaknya di seberang. Tapi, aku mampu mengenali motor dan juga setelannya. Sepertinya itu memang Riko. Dan itu sangat mungkin, karena kafe itu adalah tempat kami biasa jajan.

"Eh, iya kayaknya. Sama siapa itu dia, ya?" tanyaku, sembari memicingkan mata supaya bisa lebih fokus mengenali seseorang yang sedang bersama Riko itu.

"Itu, kan. Kakaknya Rina," kata Dinar.

Sebenarnya aku ingin menunjukkan kalau aku terkejut mendengar ucapannya. Tapi kukesampingkan dulu, karena masih sibuk mengenali orang itu.

"Itu, kan. Sherly, anak IPS, " kataku.

"Iya, Kakaknya Rina. Kak Sherly," sahutnya.

"Oh, Sherly itu Kakaknya Rina?" tanyaku yang akhirnya menunjukkan ekspresi terkejut juga.

"Kakak baru tau emang?"

"Ya kan sama dua-duanya aku nggak akrab tau."

"Yah, payah."

Aku tidak memperdulikan umpatan Dinar itu. Pandanganku yang semula sesekali kuarahkan padanya, kini kuarahkan sepenuhnya ke Riko dan Sherly di ujung sana. Nampaknya mereka berdua sudah berpindah tempat. Begitu tepat, karena yang dipilih mereka adalah meja outdoor.

"Harus disamperin nih," kataku.

"Samperin. Kak," sahut Dinar, seperti bersemangat.

Begitu mendapat kesempatan untuk menyeberang, aku pun mengarahkan motorku ke sana. Sempat sekali aku melirik ke arah Riko, ia separuh menunduk. Entah kebetulan atau disengaja. Tapi, posisi itu benar-benar ia pertahankan. Bahkan, saat ia berbincang dengan Sherly sekalipun. Aku menghampiri mereka, Dinar mengikuti.

"Kak Sherly?" Dinar menegurnya.

Mendengar namanya dipanggil, Sherly menoleh. Riko memilih untuk mengambil ponselnya. Terlihat sekali kalau itu hanyalah sebuah gimik.

"Eh, Dinar?" balasnya.

Ketika melihatku, ekspresinya berubah. Seperti orang linglung. Mungkin karena berusaha untuk mengingat namaku.

"Aryo!" serunya, yang kini kembali antusias.

"Temennya dia, kan?" Sherly melanjutkan tebakannya, seraya menunjuk teman kencannya yang duduk tepat di sampingnya itu.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang