*Tolong jangan diomelin karena update-nya lama 😂😂😂
Dinar. Untuk apa semua ini? Kamu datang dan menghadirkan begitu banyak tanda tanya. Tapi, kamu malah pergi. Bahkan, sebelum sempat menjawab salah satunya.
***
Pintu di hadapanku terbuka, menampakkan seorang pria yang beberapa waktu lalu sempat mengetuknya. Ia menekan raut wajahnya sedemikian rupa, sehingga terlihat sangat datar. Sungguh amat berbeda dari biasanya. Tapi, tak jauh berbeda dari pertemuan kami sebelumnya.
"Masuk. Rik," perintahku.
Ia menurut. Langkahnya tak terhenti sampai di ujung kursi. Ketika hendak duduk, ia melepas tas yang sedari tadi bergelayut di punggungnya. Dengan hati-hati, ia menyodorkannya kepadaku. Saat itu, aku baru menyadari bahwa tas yang disodorkan ternyata milikku. Tak kusangka, ia membawanya. Padahal aku tidak meminta.
"Dicek dulu, Yo. Gua nggak sempet buka, sih. Tapi, ya, siapa tau aja ada yang ketinggalan."
Tas berdominasi warna hitam itu pun berpindah tangan. Sempat kutatap beberapa saat, sebelum akhirnya kugeletakkan di atas kursi lain. Sementara itu, Riko memilih untuk menontoninya saja. Mungkin sedang tak ingin berkomentar, atau mungkin hanya sedang menunggu respon dariku saja.
"Gampang. Nanti gua ke rumah lu aja. Thanks, ya?" kataku. Riko hanya memanggut-manggutkan kepala, seraya mengatur posisi duduknya.
Selepas itu, situasi sempat menjadi hening. Aku menuangkan minuman berperisa jeruk yang sengaja kubuat untuk menyambut kedatangannya. Segelas untukku dan juga segelas untuknya. Aku tahu, kita memang sama-sama menyukai kopi. Namun, kurasa kopi akan terlalu pahit bila diminum di saat-saat seperti ini.
"Akhirnya nggak jadi lagi setor naskah, ya, Yo?" tanyanya, memecah keheningan.
"Ya, begitulah."
"Simpen aja dulu, deh. Situasi lu sekarang lagi nggak banget, sih."
Gerak refleks menuntun kedua bibirku untuk mengembangkan senyum masam. Tak bisa disangkal, ucapan Riko benar-benar menohokku dengan dua kenyataan. Pertama, bahwa mimpiku untuk menerbitkan buku akan tertunda lagi. Kedua, bahwa ingatan tentang Dinar kembali datang menghampiri.
"Hei? Apa ini keputusan yang tepat? Semoga saja. Semoga kamu tenang. Walaupun aku enggak." gumamku, dalam hati.
Riko menengguk minuman dingin di hadapannya. Cukup banyak, hampir setengah gelas. Nampaknya, ia memang sangat memanfaatkan peran dari dinginnya minuman itu. Kukira, hanya aku saja yang berharap dinginnya minuman itu akan menular ke kepalaku. Tak kusangka, ternyata ia juga begitu.
Raut cemas tergambar begitu jelas di wajahnya. Ketika gelas yang ia pegang kembali ke tempat semula, ia menyebut namaku. Lalu, menggantung. Aku paham. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri untuk menyampaikan apa yang baru saja tersangkut di tenggorokannya. Namun, hal itu sukses membuat hati dan pikiranku berperang.
"Ada sesuatu yang belum sempet gua sampein ke lu," katanya, sangat halus. Namun, kutahu berikutnya tidak akan sehalus itu.
Aku meyakinkan diriku sekali lagi. Dinar memang sudah pergi. Dan tak akan pernah kembali lagi. Tapi, itu bukanlah alasan yang tepat untuk tidak mengenangnya. Terlebih, sebab kepergiannya saja dalam diriku masih berupa tanda tanya. Itulah mengapa kemudian aku meminta Riko untuk datang ke rumahku. Karena pada kenyataannya, dialah yang lebih tahu tentang apa yang terjadi malam itu.
"Tolong ceritain semua yang lu tau, ya, Rik? Ceritain secara urut kalo bisa. Gua nggak mau tiba-tiba kaget," ucapku, dengan pengucapan yang tersendat-sendat. Riko mengangguk, tanda mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...