Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Tepat setelah bel istirahat dibunyikan, aku bergegas menuju ke laboratorium bahasa. Sendirian. Untuk apalagi, kalau bukan untuk menghapi lomba cipta sastra? Langkahku begitu santai kala itu. Tapi, pikiranku tidak sempat merasakan hal yang sama. Entah kenapa. Padahal, awalnya aku sangat bersemangat. Mungkin, karena keikutsertaanku telah diboncengi oleh kepentingan lain-yang bilamana salah kusikapi, akan membuat keadaan semakin tidak baik-baik saja.
Apakah aku bisa melakukannya? Pertanyaan sederhana, yang jawabannya tentu tidak akan sesederhana itu.
Sementara, waktu terus bergulir dengan begitu cepat. Aku masih sanggup mengingat dengan baik, apa yang terjadi pada sore hari itu. Tepat satu minggu sebelumnya, ketika technical meeting dari lomba cipta sastra diselenggarakan oleh pihak panitia. Sebuah pertemuan yang pada akhirnya telah merubah banyak hal. Meski tetap dengan tiga mata lomba, yaitu: cipta puisi, pembacaan puisi, serta penulisan cerita pendek. Tapi, teknis pelaksanaannya ternyata ... lumayan mengecewakan.
Ketiga mata lomba dipecah menjadi dua kategori. Sementara, keduanya akan dilaksanakan di hari yang berbeda. Pertama adalah writing, meliputi: cipta puisi serta penulisan cerita pendek. Kategori ini akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal, sedangkan kategori yang lainnya akan dilaksanakan pada minggu berikutnya-bertepatan dengan acara dies natalis sekolah. Tentu saja karena itu adalah reading-yang menaungi pembacaan puisi. Jadi, panitia pun akhirnya sepakat untuk membarengkannya dengan acara tersebut. Anggap saja meramaikan, katanya.
Apakah aku bisa melakukannya?
Pertanyaan itu lagi.
Kenapa masih di sana?
Kenapa belum mau pergi?
Tenang saja. Aku pasti bisa melakukannya. Aku pasti bisa membuktikan kepada mereka bahwasanya seorang Aryo Prasetya telah berhasil melewati masa paling buruk dalam perkembangan menulisnya.
Tapi ....
Perihal keinginanku untuk mengikuti semua mata lomba, ternyata tidak benar-benar bisa kesampaian. Sebab, pihak panitia menghendaki lomba cipta puisi serta penulisan cerita pendek dilaksanakan secara serentak. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa mengikuti kedua-duanya, karena sama-sama masuk dalam kategori writing. Mereka harus memilih; lebih condong ke mana? Puisi? Atau cerita pendek? Sehingga nantinya pemenang dari kedua mata lomba tersebut pun akan bervariasi.
Kebijakan yang cukup mengecewakan-bagiku. Karena aku sudah siap untuk mengikuti kedua mata lomba tersebut. Tapi, mau bagaimana lagi? Peserta yang sepemikiran denganku saja tidak akan habis bila dihitung dengan jari. Jadi, ya, sudah ... atas pertimbangan bahwa kemampuanku dalam berpuisi jauh lebih mahir ketimbang kemampuanku dalam menulis cerpen, akhirnya kuputuskan untuk menyondongkan diri pada lomba cipta puisi.
Apakah aku bisa melakukannya?
Pertanyaan itu kembali menggema. Bahkan, ketika aku sudah berniat untuk segera menurunkan gagang pintu yang berada tepat dalam genggamanku. Kulihat lagi suasana di luar ruangan. Sangat sepi. Namun, sepatu yang berjajar sudah lumayan banyak. Apakah tidak ada seorang pun yang mau menemaniku untuk masuk? Tidak ada jawaban. Tentu saja. Aku melihat jarum jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu terus berjalan, kataku. Kemudian ....
Ceklek!
Pintu terbuka. Semua mata langsung tertuju padaku. Iya, mereka tahu siapa aku-berikut dengan kemampuanku. Apalagi seorang wanita yang pada saat itu tengah duduk di meja operator. Ialah Bu Ina-guru Bahasa Indonesiaku. Nampaknya, beliau akan menjadi satu-satunya tim penilai yang memantau langsung jalannya perlombaan di ruangan itu. Lantas, bagaimana dengan ruangan yang lainnya? Mata lomba penulisan cerita pendek? Entahlah, aku sudah tidak memperdulikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...