Sekitar 12 Jam Sebelumnya
Saat itu, tepat pada jam pelajaran terakhir sebelum jam istirahat dimulai, aku terbangun dari tidurku. Walaupun masih sangat malas, kupaksakan kepalaku supaya mau terangkat dari meja di hadapanku yang kufungsikan sebagai bantal itu. Rasa pusing langsung menghantui, karena tidurku barusan memang tidak bisa dikatakan nyenyak.
"Bangun, Yo. Udah pagi," celetuk seseorang di sebelahku yang tidak lain dan tidak bukan adalah Riko.
Riko sendiri saat itu sedang sibuk mengerjakan tugas yang dititipkan oleh guru Matematika Peminatan kami, sebagai pengganti dari tidak bisa hadirnya beliau pada jam pelajarannya saat itu. Aku sendiri memang sudah tahu tentang hal itu. Makanya kuputuskan untuk rehat sejenak dengan tidur, walaupun tidak bisa dikatakan nyenyak.
"Lu udah emang?" tanyaku dengan mata yang belum bisa sepenuhnya terbuka.
"Tinggal satu nomor, sih."
Saat menjawab pertanyaanku itu, Riko sedang menghitung dengan kalkulator di ponselnya. Tiba-tiba saja ada hentakan yang membuat nyawaku seketika terkumpul. Dalam sekali kedipan, aku pun menarik kertas tugasnya itu. Si pemilik langsung menghentikan acara hitung-hitungnya. Lalu, menatapku dengan tatapan yang bercampur antara kaget dan kesal.
"Yo, ah. Satu lagi itu. Tanggung," katanya seraya mencoba merebut kembali kertas tugasnya itu.
"Kagak, kagak. Tungguin gua."
"Mending lu cuci muka dulu. Mata lu merah, tuh."
"Makanya gua mau ngerjain, nih. Biar putih lagi. Lu ke kelas Sherly aja sono. Mojok dulu, baru nanti balik lagi kemari pas istirahat. Bareng kita ke kantinnya," kataku.
"Enak kalo ngomong."
"Emang enak, kan? Gampang ngomong doang mah. Ngelakuinnya yang susah."
Seketika aku pun tergelak, sedangkan Riko memilih untuk mengalihkan fokus pada ponsel bernuasa hitam miliknya.
"Nah, gitu dong dari tadi," kataku, semringah.
Aku pun mulai menyalin tugas yang dikerjakan oleh Riko itu ke permukaan kertas milikku. Tidak banyak, cuma sepuluh nomor. Tapi, jawabannya memang panjang-panjang. Terlihat, hampir tiga halaman kertas folio dihabiskan Riko untuk mengerjakan tugas itu.
Sampai bel istirahat berbunyi pun aku baru sanggup mengerjakan delapan soal. Kurang satu soal lagi supaya bisa menyamai Riko. Jadi, kuteruskan saja.
"Yo? Kantinlah," ajak Riko.
"Tar dulu, tanggung ini."
"Tadi aja gua nanggung nggak boleh sama lu. Udah, nanti aja. Lagian dikumpulinnya juga pulang sekolah."
"Serius lu?" tanyaku seakan tak percaya.
"Ngapain juga gua bohong?"
"Ah! Tau gitu mah, gua ngerjainnya nanti!"
"Sekarang jumat, Yo. Lu mau ngerjain kapan kalo nggak sekarang?"
"Oiya ya? Yaudahlah, tinggal dua nomor ini, cepet. Ayolah! Kantin!" seruku, seraya menumpuk kertas tugas milikku dan Riko dengan sebuah buku paket supaya tidak terbang.
Setelah itu, kami pun berjalan menuju ke kantin sekolah. Langkah Riko sempat terhenti di teras kelas, karena harus menungguku yang sibuk membasuh muka pada sebuah wastafel.
"Yo? Gimana, tuh? Kelanjutannya lu sama Dinar?" tanyanya, saat aku baru saja menjauhkan diri dari wastafel.
"Ya, begitu."
"Ya, begitu gimana? Lu udah ada rencana buat ngobrol sama dia belum?" tanyanya lagi.
Beruntung saat itu kami berpapasan dengan beberapa teman kami yang nampaknya baru saja kembali dari kantin sekolah. Kami sempat berbincang dengan candaan beberapa waktu. Saat itu, aku berharap Riko akan lupa dengan pertanyaannya. Ternyata tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...