118 Hari Sebelumnya 💦

942 180 203
                                    

Seharusnya, enggak kayak gini, Rik.

Terus kayak gimana?

Enggak tahu.

Wajar kalau lu enggak tahu. Karena lu menjalaninya tanpa sadar. Lu enjoy, Yo.

Gua cuma penasaran.

Kalau gitu, pelihara terus rasa penasaran lu.

Biar apa?

Biar lu tahu, kenapa pernyataan gua waktu itu bisa bikin lu kepikiran sampai sekarang.

Aku tersadar dari lamunan, ketika lenganku terasa basah oleh setitik air yang entah jatuh dari mana. Diam-diam melirik ke arah kaca spion sebelah kanan; di mana wajah seorang Dinar terpampang dengan jelas. Sudah tiga hari berturut-turut, perempuan itu selalu mengisi bagian kosong di jok belakang motorku. Mungkin lebih tepatnya; semenjak dialogku dengan Riko terjadi. Sebab, sejak saat itulah ada rutinitas yang mendadak berubah.

Riko memutuskan untuk mulai membawa motor sendiri setiap harinya. Tapi, bukan karena hubunganku dengannya sedang tidak baik-baik saja. Keputusan itu ia buat untuk mendukung kedekatanku dengan Dinar; apapun namanya. Ia berkata, Lu harus bisa bagi waktu antara teman dan yang saat ini baru sebatas teman. Terdengar aneh? Memang. Setelah meramalkan masa depanku, Riko mulai ambil bagian dalam mengatur jalan ceritaku. Sayangnya, aku tidak bisa menyangkal keputusannya itu.

Aku kembali tersadar dari lamunan, ketika-lagi-lagi-lenganku terasa basah oleh setitik air yang entah jatuh dari mana. Iya, hanya setitik. Namun, tak lama kemudian langsung disusul oleh setitik yang berikutnya. Sementara-terlihat dari kaca spion-Dinar nampak membuang pandangannya ke kanan jalan. Entah sedang memerhatikan apa. Namun, satu hal yang sudah dapat dipastikan adalah perihal mengapa ia membiarkanku melamun begitu lama.

Hujan dan Dinar memang tidak dapat dipisahkan. Tapi, hujan dan aku, beserta segala hal yang kubawa; barang-barang di tasku, kisah yang tersangkut di langit-langit tempurung kepalaku, sebisa mungkin tidak boleh saling bersentuhan. Tanpa berkata apa-apa, aku mengarahkan sekaligus menepikan motorku di depan sebuah toko yang lumayan besar; bersiap dengan jawaban atas pertanyaan yang sudah pasti akan dilontarkan oleh Dinar.

"Kenapa neduh, kak? Asik, tahu!" protesnya.

"Aku emang mau neduh. Kamu kalau enggak mau neduh, ya, terserah."

Hujan yang semakin deras membuatku bergegas menuju zona aman, yakni pelataran toko yang kebetulan saat itu sedang tutup. Tapi, tidak dengan toko di sebelahnya. Hanya saja-baik toko tersebut maupun toko di sebelahnya-keduanya sama-sama sepi. Tak ada satu pun pengunjung atau orang yang menumpang berteduh. Beruntung memang, dengan situasi hujan yang cepat berubah menjadi deras, aku langsung bisa menemukan tempat berteduh senyaman itu.

"Seorang Dinar kayaknya enggak bisa, ya, kalau disuruh duduk manis waktu lagi hujan?" tanyaku, membuka obrolan.

Perempuan yang semenjak turun dari motorku tidak pernah berhenti menatap rinai hujan di hadapannya itu pun kemudian berbalik badan. Sempat memberikan tatapannya padaku untuk beberapa saat, ia akhirnya melangkahkan kaki untuk memangkas jarak denganku. Perlahan-lahan, tubuhnya mendekat. Sementara raut wajahnya sangat sulit untuk diartikan. Ia berkata tepat di depan mataku, setelah sebelumnya sempat memercikkan air yang menempel di kedua tangannya.

"Kakak katanya mau tahu alasan kenapa aku suka sama hujan? Kayaknya, ini waktu yang tepat, deh. Mau temenin aku?" tanyanya.

Saat itu yang bisa kulakukan hanyalah menggelengkan kepala. Tanpa perlu ditanya, seharusnya ia sudah tahu jawabanku akan seperti apa. Aku hanya butuh alasannya, bukan membaur dengan kebiasaannya. Namun, sepertinya Dinar mampu mendengar apa yang sedang kubicarakan dalam hati. Lewat perkataannya yang begitu halus, perempuan itu berhasil menyentil keakuanku; membuatku tersenyum.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang