*Menuju part terakhir
Dinar...
Hari ini adalah hari pertemuan yang kamu minta. Agak aneh bila harus menerima kenyataan bahwasanya kamu telah tiada. Dan akan jauh lebih aneh lagi, bila harus mengingat bahwa Riko dan Rina memaksaku untuk tetap datang ke sana.Aku bingung; sejadi-jadinya orang bingung. Jeda tiga hari itu, kugunakan untuk menjerembabkan diriku sendiri dalam pertanyaan-pertanyaan semacam...
Apa gerangan yang akan terjadi? Mungkinkah ini akan menjadi akhir dari segala kerumitan yang ada? Atau malah, ini adalah awal dari serentetan kerumitan baru yang akan semakin sulit saja?
Tapi, aku bingung; sejadi-jadinya orang bingung. Sampai aku pun tiba pada sebuah jawaban; Entahlah... Apapun itu, aku harus menerima dan menghadapinya.
***
Clak!!
Pintu di hadapanku pun terbuka. Menampilkan sosok Riko dengan wajah datar dan tatapan mata yang tidak beraturan. Mula-mula, ia menatapku. Kemudian, ia membuang pandangannya ke arah bawah. Di saat yang hampir bersamaan, seorang lelaki tiba-tiba saja muncul dari sisi yang tak bisa dijangkau oleh kedua mataku, yaitu sisi yang tertutup oleh bagian dari pintu dan juga jendela rumahku.
Lelaki itu adalah Rangga. Orang yang telah memberanikan dirinya untuk mencampuri hubunganku dengan Dinar. Sungguh, ia begitu luar biasa sore itu. Ketika aku memilih untuk sebisa mungkin tidak bertemu dengannya, ia malah menampakkan dirinya tepat di depan mataku. Ingin sekali rasanya mulut ini langsung menyemprotkan makian demi makian yang selama ini selalu kutahan atas dasar kesabaran. Beruntungnya, semua itu masih bisa kutahan dengan baik.
Bagiku, seseorang yang berdiri di tengah-tengah kami, jauh lebih layak untuk diadili. Karena ia adalah orang yang telah menyebabkan pertemuan ini terjadi. Ia memintaku untuk tidak memenuhi undangan Dinar seorang diri, melainkan berbarengan dengannya. Maka dari itu, ia mengetuk pintu rumahku–sekitar pukul empat kurang sepuluh menit. Tapi, tentang Rangga; ia sama sekali tidak membahas apa-apa. Dari situlah, rasa kesalku pun berpindah.
"Kok, ada yang ngikut, Rik? Gua pikir, lu bakal dateng sendiri," celotehku.
"Gua cuma mau liat respon lu aja kayak gimana, Yo. Nggak ada masalah kalo lu nggak suka. Dia mau pergi dengan senang hati, kok."
Sejurus kemudian, Riko langsung meminta Rangga untuk meninggalkan kami. Dan, seperti yang telah dikatakan sebelumnya; Rangga benar-benar melakukan itu dengan senang hati. Tak terlihat ada sedikit pun perdebatan yang tercipta di tengah mereka. Seolah-olah, semua yang terjadi pada sore hari itu memang telah direncanakan dengan matang; berikut dengan plan A dan juga plan B-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...