Ketika bersamamu, entah kenapa aku selalu memikirkan kemungkinan terburuknya. Tapi, ternyata Tuhan malah memberikanku kemungkinan terbaiknya.
***
Matahari sudah jauh melewati atas kepala, ketika langkahku dan juga Riko mulai memasuki sebuah rumah makan. Ada janji yang sudah repot-repot ia buatkan untukku, supaya aku bisa menemui seseorang yang sebenarnya tidak ingin kutemui. Pak Hidayat. Kata Riko, itulah nama beliau. Orang asing yang tiba-tiba saja mencorengkan tinta hitam dalam kisah hidupku.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku sebenarnya tidak ingin bertemu dengan beliau. Tapi, berhubung ada satu hal yang harus kupastikan, akhirnya pertemuan itu pun terjadi. Sepulang salat Jumat. Di mana aku dan Riko sudah selesai dengan urusan sekolah, sedangkan Pak Hidayat sedang menikmati jam makan siangnya. Beliau sudah sampai pada suapan terakhir ketika kami datang.
"Saya cuci tangan dulu, ya?" Kalimat itu menjadi awal pertemuanku dengan beliau. Sungguh kesan pertama yang tidak ada bagus-bagusnya.
Namun, nampaknya Riko memahami prasangkaku itu. Setelah menarik kursi untuk kemudian diduduki, Riko berbisik pelan di telinga kananku. Memintaku untuk memikirkan saja kemungkinan terbaiknya. Ia bilang, Pak Hidayat orangnya memang begitu. Santai. Aku mengangguk saja. Sedari awal, aku memang kurang setuju dengan keputusan Riko untuk mempercayai Pak Hidayat.
Selang beberapa detik, Pak Hidayat pun kembali ke meja bertuliskan angka enam belas itu. Beliau duduk tepat di hadapan kami. Lalu, menawarkan kami untuk memesan makan. Seketika Riko menoleh ke arahku, seolah-olah meminta pendapat. Aku kembali mengangguk. Entah kenapa saat itu aku merasa menjadi orang yang paling kaku di antara kami.
"Jadi, mau ngobrolin apa, Riko?" Kali ini Pak Hidayat benar-benar membuka obrolan dengan tepat.
"Gini, pak. Bapak inget nggak? Saya pernah bilang, ada orang yang jauh lebih dekat sama Dinar ketimbang saya?" ucap Riko. Mengakhiri kalimatnya dengan tanda tanya.
"Iya, inget. Waktu di rumah sakit itu, kan? Ini orangnya?" Riko pun mengiyakan. Entah bagaimana mulanya, saat itu kami saling menyalami dan juga bertukar nama.
"Kamu pacarnya Dinar?"
Pertanyaan itu sempat membuatku terdiam. Bukan bingung harus menjawab iya atau tidak. Tentunya aku akan menjawab tidak. Akan tetapi, hal itu malah menimbulkan sebuah pertanyaan dalam diriku. Kalau dipikir-pikir, aku ini siapanya Dinar? Pacar bukan, teman biasa juga bukan. Di antaranya? Mungkin.
"Bukan, pak. Saya temen kecilnya Dinar." ucapku, dengan sebegitu yakinnya.
Ya, aku tahu. Sudah bisa ditebak. Di sebelahku, Riko pasti sedang terkaget-kaget. Aku pun sebenarnya terpaksa untuk memalsukan status itu. Selain karena tak kunjung menemukan sebutan yang cocok, juga karena aku ingin memiliki sebuah alasan yang kuat tentang kenapa aku harus sepeduli itu dengan Dinar. Tentunya tanpa memperlihatkan bahwa aku memiliki rasa padanya.
"Kamu pasti mau ngobrolin soal Dinar, ya?" tanya beliau. Aku mengiyakan.
Baru akan mulai kembali membuka mulut, seorang pelayan tiba-tiba mendekat. Ia membawakan apa yang aku dan Riko pesan beberapa waktu yang lalu. Tepat pada waktunya. Di saat percakapan panas ini akan segera dimulai. Masa bodoh dengan makanannya. Itu hanya upayaku untuk menghargai tawaran Pak Hidayat. Aku lebih butuh minumannya. Untuk mendinginkan kepalaku yang bisa saja meledak sewaktu-waktu.
"Makan, Pak." Sebuah basa-basi yang disertai oleh senyuman palsu dan dibalas dengan senyuman natural milik Pak Hidayat.
"Jadi, kamu mau nanya apa, Aryo?" tanya beliau. Membuatku berhenti sejenak dari mengaduk-aduk nasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...