Sekitar 8 Jam Sebelumnya
Badanku abruk seketika di atas tempat tidur dengan kaki mengambang. Kutelengkupkan sebentar untuk melepas lelah, lalu berbalik setelah kurasa paru-paruku mulai kesulitan bekerja. Ada yang mengganjal di sana. Sesak rasanya.
Mataku jelalatan, mengedar ke segala arah. Entah mencari apa. Bahkan, langit-langit kamarku yang biasanya terkesan sangat menarik di situasi seperti ini, kali ini sama sekali tidak terlihat menarik. Aku benar-benar tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang saat itu tengah menyumbat dadaku.
Dengan baju seragam yang mulai terasa berantakan itu, aku membangunkan tubuhku. Duduk termenung di pinggiran tempat tidur. Mataku menghentikan perputarannya pada meja belajar di hadapanku. Tanpa di aba-aba, kakiku melangkah ke sana. Ada rasa cemas yang luar biasa.
Aku duduk di kursinya. Mencoba posisi tidur selayaknya di sekolah, tapi masih saja rasa cemas itu menggangguku. Ponsel di samping kiriku tiba-tiba menyala, membuat kecemasanku sedikit memudar. Namun, ternyata hanyalah sebuah pesan otomatis yang dikirim oleh media promosi. Seketika kecemasan itu pun menebal kembali.
Gimana kelanjutannya lu sama Dinar?
Pertanyaan itu masih saja terngiang-ngiang di kepalaku. Rasanya tidak mau pergi walau sebentar. Seolah-olah tubuhku memaksa supaya aku bisa bergegas menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Riko beberapa jam yang lalu itu.
Aku membangunkan kepalaku. Kali ini mataku menelisik tumpukan buku yang tersusun rapi di salah satu sudut meja. Kuarahkan tanganku ke sana untuk mengambil salah satu dari buku itu. Aku membiarkan buku itu memberikan petunjuk kepadaku, karena aku tidak tahu persis harus membuka halaman ke berapa. Tapi, buku itu pasti tahu dan pasti akan memberi petunjuk kepadaku.
Terbuka. Aku tidak sempat melihat halaman ke berapa. Ada sepucuk amplop berwarna merah terselip di sana, aku mengambilnya. Buku itu kututup kembali, amplopnya kupandangi. Aku membolak-balikannya. Kalaupun bisa, pasti aku sudah berdialog dengannya saat itu. Tapi, itu tidak mungkin.
Aku meletakkan amplop itu di atas buku yang selama ini menjaganya. Kali ini mataku menyisir sisi lain dari meja itu dan mendapati fotoku bersama Dinar yang terbalut rapi oleh sebuah bingkai. Aku meraihnya, seraya memandanginya. Lebih dalam. Makin dalam.
"Dinar," gumamku.
"What should I do?" tanyaku. Seakan bertanya padanya, tapi lebih terkesan bertanya pada diriku sendiri.
Aku menelungkupkan bingkai itu di atas amplop merah pemberiannya. Sekarang tumpukannya menjadi tiga buah, yaitu bukuku di paling bawah, amplop merah pemberian Dinar di tengah-tengah, dan bingkai foto kami berdua di paling atas.
Aku memilih untuk memejamkan mata kala itu. Hanya memejamkan mata saja, tidak berniat untuk tidur. Berbarengan dengan itu, napasku kuatur supaya mau tenang. Hati dan pikiranku yang sedari tadi bergejolak karena tidak bisa sependapat, kini kupaksakan juga untuk tenang.
Sepersekian detik kemudian, aku membuka mataku perlahan. Rasanya jauh lebih baik dari sebelumnya. Tanpa pikir panjang lagi aku meraih ponsel di sebelah kiriku. Sebuah aplikasi perpesanan pun kubuka. Kucari riwayat obrolanku dengan Riko dan kukirimkan sebuah pesan untuknya saat itu juga.
"Sekarang gua tau harus apa, Rik." tulisku pada pesan itu. []
💦💦💦
Sekitar 5 Jam Sebelumnya
"Nah! Gitu dong!"
Suara itu berdengung beberapa kali di telingaku. Lumayan kencang. Riko memang selalu saja antusias ketika orang yang sulit mengambil keputusan di sebelahnya ini, akhirnya mampu juga memutuskan sesuatu. Apalagi perkara yang baru saja kuputuskan itu sudah sejak lama ia nanti-nantikan supaya cepat selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...