9 Hari Setelahnya

241 26 31
                                    

*Ada pembaca lama yang masih stay di sini? Coba absen, dong. Komen, yaa... Tapi, jangan marah-marah wkwkwkwk

Dinar, mau gimana pun aku harus terima kenyataan kalau kamu emang udah pergi. Dan, nggak akan pernah bisa kembali lagi. Tapi, mau gimana pun juga pertanyaan-pertanyaan di kepalaku itu butuh jawaban. Siapa yang bisa kasih? Kalau bukan kamu?

***

"Gua berhenti curiga sama Pak Hidayat, Rik."

Keputusan itu terucap begitu saja, tepat setelah sebuah "hallo" terdengar jelas di telinga kananku. Walaupun akan sedikit tersentak, aku yakin jika Riko dapat mendengarnya dengan baik. Tapi, kondisi saat itu menyatakan bahwa obrolan kami dilanda keheningan selama beberapa saat. Mungkin ia belum menemukan tanggapan yang tepat. Atau mungkin, ia mengira bahwa perkataanku belum selesai. Apapun yang terjadi pada saat itu–yang jelas–aku memilih untuk angkat bicara kembali.

"Bukan cuma itu. Gua juga mutusin buat berhenti cari tau, kenapa Dinar bisa sampe nabrak mobilnya Pak Hidayat," ucapku.

Sampai di sini, sebenarnya apa yang ingin kusampaikan pada Riko malam itu sudah benar-benar selesai. Sisanya hanya tinggal menunggu tanggapan darinya saja. Sayangnya, ia malah kembali membuat obrolan kami menjadi hening. Karena bosan, aku mengambil sebuah kertas yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Aku ingat betul, kertas itu sempat kosong beberapa jam yang lalu; sebelum akhirnya terisi penuh oleh coretan tanganku sendiri.

Isinya berupa nama-nama orang yang telah terikat oleh cerita kelam Dinar di malam terakhirnya, beserta dengan aktivitas yang mereka lakukan pada saat, menjelang, dan setelah Dinar kecelakaan. Informasi itu bisa dibilang sangat akurat, karena aku memperolehnya langsung dari yang bersangkutan. Dari Rina, dari Riko, dari Ibunya Dinar, dan juga dari Pak Hidayat. Semua bergantung pada jujur atau tidaknya mereka dalam bercerita.

Di bawah keempat nama itu, aku meletakkan namaku dan juga nama Dinar. Di sana, bisa terlihat dengan jelas: ada sebuah bagian yang rumpang. Bagian itu adalah bagian di mana Dinar keluar dari rumahnya, sampai ia bertemu dengan mobilnya Pak Hidayat. Ya, mencari tahu tentang bagian itu pastinya masuk ke dalam sebuah kemustahilan, karena memang hanya Dinar seoranglah yang tahu; di mana dan sedang apa ia pada saat itu.

"Eh, tunggu sebentar," kataku dalam hati.

"Cuma Dinar yang tau?" tanyaku, masih di dalam hati.

Entah mendapat bisikan dari mana–yang jelas–tiba-tiba saja aku merasa bahwa bagian itu masih mungkin untuk dicari kebenarannya. Mengingat beberapa jam sebelum kejadian, Dinar sempat menghubungiku dan juga Rina. Berangkat dari situ, aku berpikir bahwa mungkin saja ada orang lain yang ia hubungi selain kami berdua. Dan, orang yang paling mungkin mendapatkan peran itu adalah...

"ARA!"

Ya, Ara. Nama itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Lalu, keluar dalam bentuk suara. Walaupun terbilang pelan, aku yakin bahwa Riko bisa mendengarnya dengan jelas. Karena setelah nama itu terucap, ponselku yang semula senyap mendadak mengeluarkan suara. Sepertinya memang Riko lebih antusias untuk tahu kenapa aku menyebut nama itu secara tiba-tiba, ketimbang tahu keputusan apa yang baru saja kuambil.

Sayangnya, aku sama sekali tidak antusias untuk menjelaskan hal itu. Balasan suara darinya hanya sekedar sampai di telingaku, tanpa menemui kejelasan bunyi. Bukan karena suaranya terlalu pelan atau tidak jelas penyampaiannya. Tapi, karena setelah nama itu terucap, otakku langsung memerintahkan untuk mencari segala informasi yang berkaitan dengannya. Jadi, mau sekeras dan sebrutal apapun Riko bicara, aku sudah tidak lagi bisa mendengarkannya.

Ponsel Dinar adalah objek yang seketika itu langsung menyita pikiran, pengelihatan, dan juga pergerakan tanganku. Segala sudut yang mungkin menyimpan informasi tentang Ara, kujelajahi secara membabi buta. Sayangnya, dari mulai aplikasi perpesanan sampai dengan daftar nomor telepon, semuanya benar-benar tidak menyimpan jejak atau informasi yang berkaitan dengan orang itu. Sebuah pertanyaan pun muncul di kepalaku: What is going on?

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang