Tunggu, jawab pertanyaan saya: nggak lama, kan, update-nya? Wkwkwkwkwk
______________________________
Tahu semuanya bukan berarti mengerti. Tak sanggup mengerti, berarti siap berteka-teki.
***
Semenjak kepergian Dinar, hari itu adalah pertama kalinya aku bersekolah. Rasanya aneh. Seakan-akan semua hal di tempat itu sedang berkonspirasi untuk berusaha mengingatkanku pada ketiadaannya. Mulai dari sudut bangunan, sampai kawan-kawan yang menyapa, lalu turut menyampaikan duka.
Kalau pun bisa, pastinya aku memilih untuk tidak berangkat saja. Tapi, pikiranku berkata bawah Tuhan menciptakan permasalahan bukan untuk dibiarkan, melainkan untuk diselesaikan. Membolos hanya akan membuat segalanya tertunda. Dan dengan setianya menunggu untuk dihadapi di hari berikutnya. Dengan kata lain, siap atau tidak, jalan cerita-Nya telah memaksaku untuk berkata siap. Walaupun aku tahu, rasanya pasti akan berat.
Aku jadi keingatan dengan waktu itu. Di mana untuk pertama kalinya dan juga sekali-kalinya, Dinar memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Rasanya memang ada yang hilang. Tapi, kunjunganku ke rumahnya di hari yang sama, seketika mampu membuatku tenang. Hari itu jelas sangat berbeda dengan hari ini. Saat di mana bertukar pesan dengannya saja sudah tidak bisa, apalagi melihatnya?
Terserah mau dibilang apa. Bisa jadi berhasil, karena aku mampu menyelesaikan tugasku sebagai seorang pelajar dengan cukup baik. Bisa jadi juga gagal, karena kejiwaanku berkata bahwa aku tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Entahlah. Sejujurnya, aku tak mau mempermasalahkan hal seperti itu. Karena ada permasalahan lain yang lebih mencemaskan dan harus segera diselesaikan.
Rumah Dinar. Itulah lokasinya. Motor yang digunakan Riko untuk menjauhkanku dari sekolah, berhenti tepat di depannya. Permasalahan itu sedang menungguku di dalam. Walaupun pendirian ini sempat goyah berulang-ulang, seorang pelajar yang juga teman sebangkuku itu tak letih-letihnya untuk terus menguatkan. Oh, bukan. Riko lebih dari sekedar teman sebangkuku.
Hari itu, ia membuatku benar-benar merasakan makna dari persahabatan. Kehadirannya sangat membantuku untuk menambal ketiadaan Dinar. Bahkan, ia rela mengesampingkan rutinitasnya bersama Sherly, hanya untuk berada di sampingku, agar bisa terus menguatkan. Aku? Aku malah bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah malam itu mereka benar-benar jadian? Sungguh pertanyaan yang tidak relevan dengan situasiku pada waktu itu.
"Motornya nggak ada, Rik. Kayaknya belum pulang," ucapku. Mengutarakan hal ganjil yang pertama kali kudapati.
Sepersekian detik kemudian, Riko melepas helm-nya. Lalu, turun dari motor. Aku mengikutinya. Ia berjalan menuju pagar rumah Dinar. Lagi-lagi, aku mengikutinya. Gelagatnya menunjukkan ketidakpercayaan atas perkataanku yang barusan. Namun, prasangkanya seakan sirna, ketika ia mendapati pintu pagar di hadapannya tergembok.
"Motor ibunya Dinar lagi dibenerin, Yo. Tapi, soal belum pulang, kayaknya lu bener. Mau balik dulu?" tanyanya.
"Tunggu aja kali, ya?" tanyaku balik, sekedar meminta pendapat. Dan, ia pun setuju.
Riko kembali ke motor. Aku mengikuti. Saat itu, lagi-lagi ia mengingatkanku supaya tidak menyalahkan diri sendiri. Katanya, ibunya Dinar sama sekali tidak marah padaku. Justru sebaliknya, beliau berterima kasih sekali karena aku sudah mau repot-repot untuk mencari Dinar. Ah, beliau belum tahu saja apa yang sebenarnya terjadi.
Sekitar lima belas menit kemudian, ibunya Dinar akhirnya datang. Beliau membonceng sepeda motor yang sepertinya dikendarai oleh rekan kerjanya sendiri. Setelah rekan kerjanya itu pergi, beliau menoleh ke arah kami. Lalu, menanyakan apakah kami sudah lama menunggu. Riko menjawabnya dengan ramah, sedangkan aku hanya mampu tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Rain
Teen Fiction[ #1 in Rain, 01-09-2018 ] [ #20 in Teen Lit, 11-09-2018 ] [ #51 in Teen Fiction, 11-09-2018 ] Di saat aku membenci hujan, dia datang. Dia datang dengan segala intuisinya tentang hujan. Dia datang dengan segala kecintaannya dengan hujan. Aku jatuh...