87 Hari Sebelumnya 💦

829 144 179
                                    

Pagi itu sekitar pukul sembilan, aku kembali menginjakkan kaki di Taman Kelinci. Setelah sebelumnya sempat melakukan lari pagi bersama Riko. Kali ini, aku datang untuk memenuhi janjiku pada Dinar. Iya, apalagi kalau bukan menemaninya ke toko buku? Ada beberapa alasan yang membuatku baru bisa melakukannya pada hari itu. Salah satunya berkaitan dengan tugas-tugas sekolah yang seakan diberikan tanpa jeda.

Bila ada yang bertanya, Kenapa harus bertemu di Taman Kelinci? Kenapa tidak langsung ke rumahnya saja? Jujur, aku tidak punya jawabannya. Sebab, tiap kali aku mengajukan pertanyaan yang sama pada Dinar, perempuan itu selalu saja mengarahkanku pada jawaban yang terkesan dibuat-buat. Aku mau main ayunan atau Enggak tahu, lagi pingin aja. Padahal, ia selalu melakukannya di setiap kesempatan. Entah sadar atau tidak, bila hal itu malah membuatku bertanya-tanya.

Masih belum mengerti, ya? Aku tidak bisa melakukan apa-apa, selain mengikuti alur ceritanya, sembari berharap ia akan segera memberitahukan jawaban yang sebenarnya, batinku-melerai pertengkaran antara hati dan pikiranku sendiri.

Sesuai rencana sedari awal, aku membawa Dinar ke toko buku milik Pak Hadi. Seorang pria berusia empat puluh tahunan yang kukenal saat mengikuti acara festival literasi sekitar satu tahun sebelumnya. Beliau menyaksikanku membaca puisi kala itu. Lantas, tertarik untuk mengajakku membicarakan banyak hal. Bahkan-tanpa segan-segan-beliau menyatakan kekagumannya padaku, sebagai seorang pemuda yang giat dalam berliterasi.

Tidak hanya itu, Pak Hadi juga memberi tahu bahwasanya ia memiliki toko buku. Dekat-dekat sini. Barangkali bisa mampir, katanya-kala itu. Beberapa hari berselang, aku benar-benar menyempatkan untuk mampir ke toko buku yang dimaksud. Alih-alih menukarkan uangku dengan sebuah buku, Pak Hadi malah memberikannya secara cuma-cuma. Anggap saja pengganti teh dan kue kering yang tidak bisa saya sajikan. Kurang lebih, begitulah perkataan yang memaksaku untuk menerima hadiah tersebut.

Sejak saat itu, aku mulai sering menyambangi toko buku Pak Hadi. Entah untuk membeli buku atau menemaninya menjaga toko, sembari bertukar pikiran tentang dunia literasi. Tapi, kejadian di malam itu turut menjauhkanku dari Pak Hadi. Meskipun hubunganku dengan beliau bisa dikatakan baik-baik saja. Namun, rasa traumaku untuk kembali menulis telah membuatku menutup diri untuk membeli buku. Tidak membeli buku, berarti tidak berkunjung ke toko bukunya Pak Hadi.

"Permisi, Pak ...." tegurku.

Satu suara menyahut dari kejauhan-menyilahkanku untuk masuk. Siapa lagi, kalau bukan Pak Hadi? Seseorang yang pada saat itu tengah berhadapan dengan sebuah buku tulis dan pena hitam di tanganya itu pun hanya melihat sekilas ke arahku dan juga Dinar. Entah sedang mengerjakan apa. Entah dengan kesibukkan yang bagaimana. Sampai-seolah-olah-beliau hanya memastikan bahwa suara itu memang berasal dari pintu tokonya. Tanpa mau tahu, siapa yang baru saja masuk.

Dinar yang terkesan tidak sabaran, segera mengambil langkah untuk menuju ke pelukan rak penuh buku yang berjajar tepat di samping kanannya. Namun, baru beberapa langkah, aku langsung menahannya-membuat kakinya kembali ke tempat semula. Perempuan itu tidak mengajukan pertanyaan apapun. Mungkin tidak sempat, karena di saat yang bersamaan, aku kembali berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Pak Hadi.

"Apa saya bisa bertemu dengan Pak Hadi?" tanyaku, jahil. Namun, berhasil.

"Saya Pak,-" ucapan beliau seketika terhenti, saat matanya mulai memerhatikan detail dari wajahku.

Pak Hadi mendorong jari telunjuknya-ke arahku. Kemudian, memalingkan wajahnya-entah ke mana. Setelahnya, beliau terlihat memejamkan mata, seraya memindahkan jari telunjuknya ke daerah pertemuan antara kedua pangkal alisnya. Nampaknya, beliau memang sedang berpikir keras untuk berusaha mengingat namaku. Satu kondisi yang lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa lamanya aku dan Pak Hadi tidak bertemu.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang