12 Hari Sebelumnya 💦

422 40 153
                                    

Aku tidak pernah tahu kalau Rina suka menulis. Sama sepertimu, dia juga tertutup. Aku terkejut, ketika melihatnya di ruangan yang sama. Dan aku lebih terkejut lagi, ketika mendengar namanya disebut dalam pengumuman juara. Serangkaian kejadian itu, menuntunku pada rasa penasaran tentang apa yang ia tuliskan. Siapa sangka? Ketika membaca tulisannya, aku malah menemukan fakta baru yang tidak dapat kujelaskan, apa dasar dan alasannya. Sederhananya, aku merasa seperti ... kamu hidup dalam setiap kalimat yang ia tuliskan.

***

"Masih belum ada kabar, ya, Kak?"

Aku hanya bisa mengangguk.

Hari itu—bertepatan dengan pembagian rapor bayangan di sekolahku—mama berkata akan datang, walau ia sendiri tidak yakin akan datang tepat waktu. Bagiku, itu terdengar jauh lebih baik. Mengingat, selama ini aku selalu meminta tolong pada ibunya Riko, untuk mengambilkan hasil evaluasi yang sebenarnya tidak terlalu penting bagiku itu. Bukan apa-apa, tapi orangtuaku seringkali tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

Ironi. Tapi, aku menyikapinya dengan lapang dada.

Ketika masih di rumah, mama sempat berkata, Jangan terlalu sering, enggak enak. Percaya atau tidak, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau orangtuaku tidak bisa hadir, hanya ibunya Rikolah yang bisa kuandalkan. Hanya saja, beliau sudah pulang. Bersama Riko tentunya. Itu terjadi setelah aku menolak tawarannya, untuk mengambilkan rapor bayangan milikku. Tidak biasanya. Memang. Semua kulakukan, karena aku yakin mama akan datang.

"Eh, Kak. Bentar, deh. Katanya ibu udah sampek," ucap perempuan yang seketika itu juga langsung berlari meninggalkanku.

Dinar, Dinar. Sama sepertiku, ia juga tidak berangkat bersama orangtuanya, karena ibunya berangkat dari sekolah tempatnya mengajar. Jadi, rutinitas pada pagi hari itu masih berjalan seperti biasanya; berangkat bersama Dinar, dan menghabiskan waktu yang kupunya untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Rasanya seperti ... tiada hari tanpa Dinar. Dan, aku pun tergelak—dalam hati. Yang tanpa kusadari membuat bibirku mulai melengkung.

Tapi, untuk apa senyum ini? Apakah ini adalah respon dari tingkahnya yang sulit ditebak? Atau, aku mulai menertawakan diriku sendiri, karena kembali terjebak dalam perasaan yang sulit dijelaskan seperti sekarang ini? Entahlah. Aku hanya merasa—semua ini lucu.

Setelah mengantarkan ibunya ke kelas, Dinar kembali menghampiriku, kemudian mengajakku untuk melihat-lihat pameran literasi yang digelar di lapangan sekolah. Iya, tepat seperti apa yang dikatakan oleh Riko, di sela-sela perhelatan acara ulang tahun sekolah pada waktu itu. Kebetulan, aku sudah menunggunya sedari tadi. Kita sengaja menundanya, hanya untuk menunggu kedatangan ibunya Dinar.

Pamerannya sederhana. Hanya menggunakan papan-papan yang biasa digunakan untuk majalah dinding, yang disusun sedemikian rupa supaya terlihat lebih tertata, dan lebih menarik tentunya. Sama persis seperti apa yang dikatakan oleh Riko. Hanya karya berbentuk puisi saja yang dipamerkan di sana. Tidak ada satu pun karya berbentuk cerita pendek. Mungkin karena terlalu panjang, pikirku. Malah, kekosongan itu diisi dengan lukisan-lukisan siswa, juga cuplikan komik-komik Jepang hasil kolaborasi ekstrakurikuler Mading dan Japanese Club.

Sementara, aku mulai berputar-putar di area yang sedikit mirip dengan labirin itu. Tidak lain hanya untuk mencari puisi karya sang juara; Rina. Dari awal memasuki area pameran, bahkan dari awal bangun di pagi hari itu, atau bahkan dari saat aku mengetahui akan ada pameran seperti ini, aku hanya ingin mencari dan membaca puisi milik Rina. Lagipula, tidak ada satu pun karya puisi lainnya yang mampu menarik perhatianku, terlebih membuatku ingin membacanya sampai habis.

"Rina!"

Iya, tepat setelah kita berbelok di sebuah persimpangan yang ada dalam labirin itu, Dinar tiba-tiba saja menyeru dengan begitu lantang. Memang, ada Rina di sana. Sedang apanya, mungkin sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Dinar yang terlihat kegirangan, mulai menghampiri teman perempuannya itu, kemudian terjadilah sebuah obrolan yang tidak kudengarkan sama sekali. Aku memilih untuk tetap mengekor di belakangnya, sembari terus mencari puisi milik Rina—yang berhasil membuatku tidak pernah tidur nyenyak.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang