Tak sanggup lagi menanggung beban rasa bersalah.
Jujur itu butuh keberanianTrinity memandangi kertas di atas mejanya. Form pendaftaran ekskul karate. Alisnya bertaut, sekilas melirik ke arah Neo yang entah sedang sibuk apa di mejanya.
Yang benar aja! batinnya.
Jelas tak mungkin dia ikut klub karate sekolah. Olahraga adalah kegiatan yang paling dibencinya. Satu-satunya olahraga yang mampu dia lakukan hanya jalan kaki. Setidaknya dia pernah berjalan kaki sejauh empat kilometer ketika suatu hari bus yang ditumpanginya menuju pulang mogok di tengah jalan dan bus lain tak kunjung datang.
Tidak suka olahraga bukan berarti Trinity malas bergerak. Dia cukup gesit. Ekskul yang dia ikuti membuatnya lumayan sibuk. Klub drama, majalah dinding sekolah. Tubuhnya ideal, proporsional antara tinggi dan beratnya. Trinity tidak suka olahraga karena dia memang tidak bisa. Ada salah satu masalah di bagian tubuhnya yang tidak ingin dia ceritakan pada siapa pun, kepada Pak Sam sekali pun.
Dia sudah berlatih renang sejak SMP, tapi sampai sekarang belum mahir juga. Hingga Trinity berkesimpulan, tiap orang dianugerahi kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang jago pelajaran eksakta, ada yang berbakat seni, ada juga yang dengan mudah menjadi ahli di bidang olahraga. Ada beberapa anak yang memiliki bakat di dua bidang atau lebih, tapi tak ada yang ahli di segala bidang.
Kembali Trinity melirik ke arah Neo.
Kecuali Neo, batinnya.
Neo, yang sejak kelas sepuluh sudah menarik perhatian banyak orang. Nilai rapor tertinggi di sekolah. Bertingkah laku baik, kesayangan semua guru dan kepala sekolah. Favorit Pak Agus satpam sekolah karena datang selalu paling dulu, sementara banyak anak-anak yang membuatnya repot, datang menjelang bel masuk berbunyi atau saat pintu gerbang nyaris ditutup. Neo, yang berprestasi bukan hanya di semua pelajaran eksakta, tapi juga di olahraga karate, sekarang ini dia sudah menyandang sabuk coklat. Neo, yang pandai bermain biola, membuat tercengang semua orang saat memamerkan kepiawaiannya menggesek biola dalam acara pesta pelepasan kakak kelas. Neo yang selalu berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tak peduli kebiasaannya itu membuatnya jadi bahan olok-olok. Neo yang fasih berbahasa Inggris dan Spanyol. Neo yang ...
Trinity mengerjap. Tak akan habis daftar kehebatan Neo yang dia tahu. Cowok yang diam-diam dia kagumi. Cowok dengan kehidupan berbalut misteri, membuat jarak dengan semua teman sekolahnya. Tak ada yang tahu di mana rumahnya, tak ada yang pernah melihat seperti apa orangtuanya. Cowok yang tidak punya satu pun teman dekat di sekolah ini. Cowok yang ... unik.
"Bagaimana?"
Trinity hampir terlompat dari kursinya mendengar suara khas yang sangat dikenalnya itu. Dia menoleh dan menelan ludah, mengangkat wajah perlahan, hingga matanya tepat menatap seraut wajah menawan yang menunduk ke arahnya. Neo! Sejak kapan cowok itu berdiri di sampingnya?
"Bagaimana apanya?" tanya Trinity, masih gengsi untuk langsung mengaku mengerti.
"Saranku ikut karate. Kamu akan terbiasa bergerak, berlari, melompat, tubuh jadi lebih lentur, selain itu bisa menjadi modal untuk jaga diri," jawab Neo.
"Duh, boro-boro karate. Lari aja gue nggak becus."
"Coba dulu, kalau nggak mencoba, bagaimana kamu bisa tau, kamu bisa atau nggak? Kalau kamu mau, minggu besok dibuka penerimaan anggota baru. Di sekolah, mulai jam sembilan pagi sampai jam dua belas siang."
Trinity masih berpikir akan menjawab apa, tapi satu per satu teman sekelasnya mulai bermunculan. Termasuk Reyana yang langsung duduk di sampingnya dan matanya bergerak bergantian menatap Trinity, kemudian Neo, kembali ke Trinity lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fiction (09/5/17) Kamu tahu, jantungku tidak sembarangan berdetak, dia cenderung lebih cepat, tiap kal...