"Udah, nggak usah sedih."
Trinity mendongak mendengar kalimat itu. Di sampingnya sudah berdiri Zaki memandanginya. Dia melirik ke sekeliling. Menyadari seisi kelas sudah keluar. Hanya tinggal dirinya dan Zaki di kelas ini.
"Elo ngomong sama gue?" tanyanya pada Zaki.
"Yaiyalah, cuma ada kita berdua sekarang," jawab Zaki.
"Lo tuh kebiasaan nuduh sembarangan. Siapa yang sedih?"
"Muka lo kelihatan mendung gitu. Karena lihat Neo akrab sama murid baru ya?"
"Tuh kan nuduh lagi."
Zaki tersenyum lebar. "Elo juga kebiasaan sih. Nggak mau ngaku. Selalu pura-pura. Jangan cuma gara-gara Neo dan si anak baru itu, elo jadi nggak nafsu makan," katanya masih bernada meledek.
Trinity berdiri, mengerucutkan mulutnya, menatap tajam Zaki.
"Yang pura-pura itu kan elo. Pingin ngajak gue ke kantin aja pake bawa-bawa nama Neo dan anak baru," sindirnya.
Tawa Zaki pecah. "Kok tau sih maksud gue sebenarnya? Iya, memang gue pingin ngajak lo ke kantin. Mau kan?" sahutnya.
"Tanpa lo ajak pun gue memang mau ke kantin, kok," balas Trinity dia berjalan mendahului Zaki. Cowok itu menyusul sambil tersenyum geli.
"Gimana menurut lo tentang anak baru itu?" tanya Zaki setelah langkahnya menjajari Trinity.
"Perlu dibahas?" Trinity terdengar enggan menjawab.
"Yah, kan lagi happening banget di kelas kita."
"Elo pasti senang banget ya, dapet teman sebangku cantik," sindir Trinity.
"Cemburu?" goda Zaki.
"Hah? Maksud lo?"
Zaki tertawa lagi. "Kirain lo ngiri, berharap sebangku juga sama gue."
"Ih!" sahut Trinity, menunjukkan ekspresi sebal. Zaki hanya menyeringai lebar.
"Jangan dikira, karena ada anak baru yang menarik, gue jadi ga fokus belajar. Nggak peduli sebelah gue siapa. Andai artis Hollywood pun gue nggak peduli. Gue tetap bakal bikin nilai-nilai gue bagus. Jadi, elo tetap harus waspada sama gue."
"Oh, jadi menurut lo, dia menarik ya?"
"Itu kan nggak terbantahkan, Trin. Tadi elo juga bilang dia cantik, kan? Tapi lo tenang aja. Sekarang gue udah nggak hobi ngejar-ngejar cewek cantik."
"Masa? Elo yakin?"
"Fokus gue sekarang beda."
"Pingin ngalahin nilai gue?"
"Itu salah satunya."
"Tapi, elo nggak yakin bisa ngalahin Neo," cecar Trinity.
"Siapa bilang?" sanggah Zaki.
"Elo selalu bilang bertekad ngalahin gue. Nggak pernah bilang mau ngalahin Neo. Kalo punya cita-cita jangan nanggung. Sekalian lah rebut posisi peringkat satu."
"Oh, tentu aja. Itu memang rencana gue. Tapi namanya rencana, bisa berhasil, bisa nggak, kan?"
"Nah, omongan lo itu salah satu bentuk rasa nggak yakin tuh. Jangan gitu dong. Elo yakin banget bisa ngalahin gue, tapi nggak yakin bisa ngalahin Neo."
Zaki tersenyum. Kali ini rautnya serius. "Lo nggak khawatir peringkat lo turun karena tergeser sama gue?" tanyanya.
"Biasa aja. Gue juga rajin belajar. Lo nggak bakal gue biarin ngalahin gue begitu aja," jawab Trinity.
Zaki melirik, menahan senyum geli. "Lo sendiri, nggak pingin ngalahin Neo?" tanyanya.
"Pingin juga lah. Tapi, ya ... dia memang nggak gampang dikalahin," sahut Trinity.
Zaki tertawa. "Jadi, kita berdua sama-sama nggak yakin bisa ngalahin Neo nih?"
"Bukannya nggak yakin ..." sanggah Trinity, tapi ucapannya terputus.
"Eh, gue jadi punya ide. Gimana kalo kita belajar bareng buat ngalahin Neo?" usul Zaki.
Trinity terbelalak. Ide Zaki itu benar-benar tak pernah terpikir olehnya.
"Hah?" katanya dengan ekspresi terkejut.
"Nggak usah sampe melongo gitu kagetnya. Tampang lo jadi lucu tuh," ledek Zaki sambil nyengir.
"Elo serius sama ide lo tadi?" tanya Trinity.
"Serius. Tapi itu kalo elo memang beneran mau ngalahin Neo."
"Maksud lo?"
"Siapa tau elo sebenarnya nggak pernah berniat ngalahin Neo. Elo malah kagum sama dia, atau naksir barangkali. Seperti kebanyakan cewek di sekolah ini."
Tiba-tiba Trinity berhenti melangkah. Zaki ikut berhenti. Dia menoleh, melihat raut kesal di wajah Trinity.
"Kenapa? Gue salah ngomong?" tanya Zaki.
"Salah banget!" sahut Trinity ketus.
"Sori ..." Belum selesai Zaki bicara, Trinity segera memotong.
"Gini ya, gue mau menegaskan. Gue masih mau ngobrol sama elo, asal lo janji, nggak nuduh gue sembarangan lagi. Dan jangan sok tau lagi tentang perasaan gue. Kalo elo masih aja nuduh gue, gue nggak mau ngomong lagi sama lo!"
"Nuduh yang mana lagi?" bantah Zaki. Trinity diam, hanya menatap Zaki tajam.
"Oh ... jadi, nggak benar ya, elo kagum sama Neo, atau naksir dia. Syukurlah kalau gitu."
Estela
**=========================**
Selamat pagi, selamat Kamis.
Wow, hari ini aku semangat banget ya. Postingnya dini hari lho. Dan part ini lebih panjang dari biasa.Zaki makin berani mendekati Trinity, Neo makin ketinggalan, mana diribetin Estela pula. Kapankah Neo punya kesempatan menjelaskan semuanya pada Trinity?
Dan siapakah sebenarnya yang lebih diharapkan Trinity? Zaki atau Neo?
Tim Neo mana suaranya? Kasih semangat Neo dong ...
Tim Zaki, doain Bang Zaki ya supaya usahanya lancar ;)
Ohya, mulai hari ini pakai cover resmi dari Bentang Pustaka nih. Ada masukan dari teman-teman nggak buat covernya? Masih mungkin direvisi kok.
Buat yang kemarin nanya visualisasi Estela. Kira-kira Estela kayak gini nih. Campuran Spanyol. Gimana Bobby nggak klepek-klepek dan ngiri berat sama Zaki 😄
Apakah benar, Zaki sanggup nggak tergoyahkan sama Estela?Buat teman-teman yang sudah baca, kasih komen dan vote, makasih banyak ya. Semoga semangat terus bacanya.
Salam hangat,
Arumi E
KAMU SEDANG MEMBACA
Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fiction (09/5/17) Kamu tahu, jantungku tidak sembarangan berdetak, dia cenderung lebih cepat, tiap kal...