7. Berkah Hukuman (lanjutan)

121K 6.8K 481
                                    

Tak kenal maka tak sayang. Saling mengenal pelan-pelan, lalu menelusup rasa sayang.

Trinity sampai dalam waktu singkat. Mengedarkan pandangan ke seluruh kantin, terlihat Neo melambaikan tangan. Trinity mendekat, melihat meja di samping Neo masih kosong. Cowok itu masih belum makan.

"Kok belum makan?" tanya Trinity sambil duduk di kursi sebelah Neo. Pengunjung kantin sudah banyak berkurang menjelang jam istirahat berakhir.

"Menunggu kamu."

"Nungguin gue terus. Kenapa sih?"

"Mau minum apa?" tanya Neo mengabaikan pertanyaan Trinity.

"Air jeruk dingin."

Neo segera memberi tanda pada penjaga kios di belakangnya, milik Pak Mukidi yang menjual aneka minuman, memesan dua botol air jeruk dingin.

"Mau makan?" tanyanya lagi pada Trinity.

"Kayaknya nggak sempat deh," sahut Trinity.

"Nggak lapar?"

"Lapar banget. Tapi kan nggak sempat."

"Makan roti bisa, lumayan buat isi perut."

Trinity hanya memandangi Neo, lalu menggeleng.

"Minum aja. Masih tahan kok sampai pulang nanti," katanya.

"Oke," sahut Neo singkat.

"Elo belum jawab, kenapa tiba-tiba lo peduli sama gue?" tanya Trinity tak bisa lagi membendung rasa penasarannya.

Neo mendekatkan botol berisi air jeruk dingin yang baru datang ke arah Trinity.

"Karena aku terkesan sama kamu," jawab Neo sambil membuka tutup botol minumannya, memasukkan satu sedotan, kemudian mulai meminumnya.

Mata Trinity menyipit. "Terkesan kenapa?" tanyanya penasaran.

"Kamu berani mengakui kesalahanmu," jawab Neo, memandangi Trinity, hampir tersenyum geli melihat Trinity terperangah.

"Ah, biasa aja. Bukan sesuatu yang hebat. Nggak perlu terlalu kagum sama keputusan gue itu," elak Trinity, tapi rasa gugup yang dia sembunyikan membuatnya kesulitan membuka tutup botol. Tanpa permisi Neo merebut botol yang dipegang Trinity, membuka tutupnya, lalu mengembalikan pada gadis itu.

Trinity menelan ludah. "Thanks," ucapnya singkat, lalu memasukkan sedotan ke dalam botol dan mulai menyeruput minuman dingin itu.

"Bukannya kagum. Aku hanya terkesan," kata Neo, menjawab ucapan Trinity sebelumnya.

"Memangnya beda ya?" tanya Trinity sambil melirik kepada Neo.

Neo tertawa tapi tak bersuara, hanya membuka mulut lebar hingga deretan giginya yang rapi terlihat.

"Aku salut kamu berani menanggung risiko. Kupikir kamu nggak bakal berani, takut nilaimu terancam."

"Tadinya sih gue memang cemas nilai gue bakal merah. Tapi gue yakin, Pak Sam guru yang bijak. Pasti mau ngasih gue kesempatan memperbaiki nilai gue."

"Jadi, kamu setuju kan dengan saranku? Ikutlah karate, biar badan kamu terlatih bergerak. Bisa itu karena biasa lho. Kamu pasti jarang olahraga di rumah ya? Jogging di hari Minggu nggak pernah juga?"

Belum sempat Trinity menyahut, terdengar bel tanda jam istirahat sudah berakhir. Trinity buru-buru bangkit dari duduknya, menuju kios tempat Neo tadi memesan minum, berniat membayar minumannya. Baru saja dia merogoh kantung roknya, Neo sudah mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu kepada Pak Mukidi.

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang