9. Si Badung

118K 6.7K 325
                                    

Tak peduli yang lain mengira aku si biang onar, asalkan kamu tahu siapa aku sebenarnya.

Seusai makan siang di kantin, Zaki terburu-buru pulang ke rumah. Gara-gara Trinity ... ya, dia menyalahkan Trinity. Karena asyik mengobrol dengan Trinity, dia hampir melupakan tugasnya hari ini. Untunglah saat mencapai halaman sekolah dia melihat Bobby baru saja keluar dari parkiran dengan motornya.

"Bob!" teriak Zaki, melangkah cepat mendekati sahabatnya itu.

"Anterin gue pulang, ya. Gue lupa, harus buru-buru ke rumah sakit," lanjutnya setelah berada di samping Bobby.

"Keterlaluan lo, Bro. Kenapa bisa lupa?" sahut Bobby setengah melotot kepada Zaki.

"Yah, namanya lupa ya lupa. Udah buruan, anterin gue sebentar!" sergah Zaki, tanpa menunggu jawaban dia langsung melompat ke boncengan motor Bobby.

"Gue cuma bawa helm satu, Zak."

"Nggak apa-apa lah, gue nggak usah pakai helm."

"Nanti bisa kena tilang."

"Yaelah, rumah gue kan deket. Lewat jalan tikus aja, jangan lewat jalan besar. Buruan!"

Bobby tidak membantah lagi, segera dia menyalakan motornya, lalu melaju lewat jalan-jalan perumahan. Rumah Zaki tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Biasanya, Zaki berjalan kaki pergi dan pulang sekolah. Tapi kali ini dia dikejar waktu.

"Thanks, Bob!" kata Zaki setelah mereka sampai di depan pintu pagar rumah Zaki.

"Oke, Bro! Salam buat nyokap lo ya. Semoga cepat sembuh. Besok gue dan anak-anak nengokin kalo nyokap lo udah pulang," sahut Bobby.

Zaki hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya. Bobby bergegas melajukan motornya menjauh. Zaki berbalik setengah berlari masuk ke rumahnya. Membuka pintu yang tak terkunci. Seketika seorang gadis kecil berkuncir satu menyerbunya.

"Bang Zaki, kapan mama pulang? Katanya hari ini?" tanya gadis itu sambil menarik-narik tangan Zaki

"Iya, ini juga abang baru mau ke rumah sakit jemput mama."

"Ara ikut!" teriak gadis itu antusias.

"Nggak usah, kamu temenin adek aja."

Gadis itu memberengut. Zaki menghela napas. Dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah adik perempuannya yang baru berusia sepuluh tahun itu.

"Ara sudah janji kan, mau jadi anak baik, nggak tukang ngambek, mau jagain adek. Ayolah, Ara kan anak pinter. Tunggu di rumah aja ya?"

Gadis kecil itu tidak menyahut, tapi sudah berhenti cemberut.

"Adek di mana?" tanya Zaki.

"Bobo siang."

"Kamu juga bobo siang dong, Sayang."

"Tapi Abang cepetan pulang bawa Mama."

"Iya, Abang nggak lama-lama."

Zaki menuntun Ara ke kamarnya. Ada dua tempat tidur di kamar bernuansa pink itu. Satu tempat tidur sudah terisi seorang gadis yang lebih kecil dari Ara, sedang tertidur pulas. Itu Lala, adik bungsunya.

"Ara tidur juga gih. Sekarang kan waktunya bobo siang. Abang janji, nanti begitu Ara bangun, abang dan mama sudah pulang."

Gadis kecil itu menurut. Segera naik ke atas tempat tidurnya. Zaki menemani sampai adiknya terbaring nyaman. Dia tersenyum, membelai lembut rambut adiknya.

"Abang pergi dulu ya," ucapnya. Ara mengangguk. Zaki melangkah ke luar kamar. Menutup pintunya, lalu menuju ke ruang belakang. Mendapati Mbak Irna, asisten rumah tangga berusia dua puluh lima tahun yang bekerja di rumahnya sedang menyetrika.

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang