12. Rasa yang Menelusup Diam-Diam

112K 6.3K 230
                                    

Awalnya rasa ini tak terdeteksi, lalu perlahan mulai menyengat hati.

"Nah, ini dia!" teriak Trinity senang, setelah membongkar isi tas dan buku-buku di meja belajarnya, menemukan formulir pendaftaran klub karate terselip di salah satu buku.

Dia membaca isi form itu. Memahami daftar syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi yang ingin menjadi anggota klub karate. Ada biaya pendaftaran dan baju karate yang harus dia beli, pas foto.

Bergegas dia menemui mamanya yang sedang membaca majalah di ruang keluarga. Saat bersantai di sore hari sebelum papa Trinity pulang.

"Ma, aku boleh ikut ini ya?" tanyanya sambil menyodorkan kertas formulir itu kepada mamanya.

Bu Prita, mama Trinity, meletakkan majalah yang sedang dibacanya di pangkuannya, lalu menerima kertas yang disodorkan anak gadisnya, membacanya cepat, lalu beralih menatap Trinity.

"Serius kamu mau ikut karate? Memang bisa?" tanya Bu Prita.

"Belum tau sih bisa atau nggak, tapi aku mau nyoba. Aku pingin jadi lebih kuat."

"Kalau kamu mau mencoba, boleh saja. Tapi ingat kondisi kamu."

"Mama nggak usah khawatir. Aku kan udah gede. Udah makin kuat, nggak selemah dulu.

Bu Prita tersenyum, meraih tubuh putrinya, merangkulnya erat.

"Iya, Mama suka lupa sekarang kamu sudah gede. Mama cuma pesan, kamu hati-hati ya."

"Pasti, Ma."

"Besok Mama kasih buat biaya pendaftaran dan beli baju karatenya."

"Papa juga pasti ngizinin kan, Ma?"

"Kalau kegiatan positif, Papa pasti setuju. Yang nggak boleh itu kalau kamu minta izin pacaran."

"Kenapa sih nggak boleh?"

"Belajar dulu yang serius. Eh, kamu belum punya pacar, kan? Jangan pacaran diam-diam di belakang mama dan papa ya?"

"Mama mulai deh. Aku tuh nggak ada waktu mikirin pacaran. Banyak pe-er yang harus dikerjain. Belum lagi tugas-tugas di mading sekolah. Di klub drama, terus nanti ditambah karate."

"Nah, itu. Kamu harus bisa ngatur waktu, Trin. Jangan kebanyakan kegiatan nanti kamu capek."

"Latihan drama aku udah nggak aktif, cuma kadang masih suka datang nonton teman-teman, mading nggak tiap hari, karate tiap Minggu. Jadwalnya nggak ada yang bentrok."

"Mama setuju saja kalau kamu mau mencoba karate. Tapi kalau ternyata nanti kamu nggak sanggup, jangan dipaksain ya?"

Trinity mengangguk mantap.

"Beres, Ma!" katanya, lalu permisi kembali ke kamarnya. Merebahkan tubuh di tempat tidur, kemudian senyum-senyum sendiri.

Dia tak menyangka, setelah kejadian kecurangan dalam mapel olahraga itu malah membuat hari-harinya semakin berwarna. Dia beruntung, teman-temannya di klub mading tak ada yang mem-bully-nya. Justru salut padanya karena sudah berani mengakui kesalahannya. Terutama Shania sahabatnya yang sangat membela Trinity. Teman-teman di klub drama pun tak ada yang berubah sikap. Tak ada yang mengolok-olok Trinity. Mereka tahu, Trinity sudah menebus kesalahannya.

Satu lagi hikmah dari kejadian ini. Trinity menjadi lebih dekat dengan Neo. Cowok yang dulu sulit didekati siapa pun, menjaga jarak dari semua orang. Siapa sangka sekarang Trinity bisa makan bareng di kantin, berbincang panjang, dan besok dia akan melakukan kegiatan yang sama dengan Neo. Ah, hidup memang indah sekali kalau memilih jujur.

Hari Minggu Trinity sudah siap berangkat ke sekolah sejak pagi. Klub Karate akan dimulai pukul setengah delapan. Dia harus sudah hadir minimal setengah jam sebelumnya. Reno kakaknya yang masih berada di rumah menawarkan mengantar dengan dibonceng motor. Tentu Trinity tak menolak, membuatnya lebih cepat sampai di sekolah.

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang