Rasa ini berawal dari menjalani hukuman bersama.
~ Kejujuran berbuah manis
Trinity memandang enggan gerbang sekolahnya. Hari ini dia tidak lagi datang sepagi dua hari lalu. Setengah tujuh kurang lima menit. Pak Agus sudah berdiri di sisi pintu gerbang menyemangati siswa siswi yang baru turun dari angkutan umum, atau diantar orang tua, atau membawa motor sendiri bagi yang sudah memiliki SIM supaya bergegas masuk.
"Mbak Trin, kok nggak datang pagi-pagi lagi?" tanya Pak Agus, sebelum Trinity melewati pintu gerbang.
"Lagi nggak nebeng mobil ayah, Pak," jawabnya, lalu mendadak dia iseng ingin tahu sesuatu.
"Siapa yang datang paling pagi hari ini, Pak?"
"Mas Neo kembali merebut rekor terpagi," jawab Pak Agus.
Trinity mengangguk-angguk dan tersenyum. Seperti yang sudah diduganya. Dia berjalan gontai menuju kelasnya, tak peduli anak-anak lain yang baru muncul berlarian menuju kelas masing-masing. Baru saja kakinya melangkah memasuki kelas, Pak Sam muncul dari belakangnya bersama Bu Selvy. Trinity menoleh sekilas, lalu buru-buru setengah berlari menuju kursinya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Selvy.
"Pagi, Bu," jawab murid-murid kompak.
"Minta waktu sebentar, ya. Ada yang mau disampaikan Pak Sam," kata Bu Selvy, lalu mempersilakan Pak Sam bicara.
Dalam dada Trinity bergemuruh. Samar tangannya bergetar. Mungkin seperti ini rasanya menjelang eksekusi hukuman mati seperti di film yang pernah ditontonnya. Takut, cemas, pasrah, tak berdaya, semua perasaan itu campur aduk.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Pak Sam, langsung dibalas seluruh kelas hampir bersamaan.
"Sebelum kalian memulai pelajaran kimia bersama Bu Selvy, ada satu hal yang mau Bapak sampaikan. Ini berkenaan dengan ujian lari jarak menengah hari Senin lalu. Ada beberapa teman kalian yang telah melanggar aturan dalam ujian itu. Karenanya, nilai mereka Bapak batalkan. Tapi, berhubung mereka mau mengakui kesalahan mereka, Bapak kasih kesempatan mereka mengulangi ujian lari saat jam istirahat nanti. Bagi yang mau, silakan. Bagi yang tidak, hasil ujiannya Bapak anggap nol," kata Pak Sam.
Ucapannya disambut kegaduhan siswa-siswi yang langsung berkasak kusuk.
"Pasti ini soal Zaki yang curang pas ujian kemarin. Ternyata nggak perlu dilaporin udah ngaku sendiri dia," bisik Reyana pada Trinity. Trinity hanya menelan ludah.
"Jadi, silakan maju bagi yang mau mengakui kesalahannya. Jam istirahat nanti temui saya di depan pintu gerbang sekolah," kata Pak Sam lagi.
Trinity menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya sambil bangun dari kursinya. Reyana menoleh dan tercengang, mulutnya ternganga dan matanya membelalak heran melihat Trinity kemudian berjalan ke depan kelas. Suara-suara gumaman meriuh. Terdengar ungkapan-ungkapan keterkejutan, beberapa kata umpatan samar tertangkap telinganya. Trinity sampai di depan kelas, memandangi teman-temannya yang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Trinity melirik ke arah Neo, terlihat olehnya cowok itu memandanginya hampir tak berkedip.
"Ada yang mau kamu katakan, Trinity?" tanya Pak Sam.
Trinity mengangguk. "Iya, Pak," jawabnya.
"Silakan," kata Pak Sam.
Trinity memandang ke depan, mencoba tegar.
"Saya mohon maaf kepada Pak Sam dan teman-teman, saya sudah berbuat kesalahan saat ujian lari kemarin. Saya menumpang mobil di separuh perjalanan, yang membuat waktu yang saya tempuh menjadi lebih cepat. Saya berharap diperkenankan mengulangi ujian. Kali ini saya akan melakukannya dengan kemampuan saya sendiri," kata Trinity.
KAMU SEDANG MEMBACA
Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fiction (09/5/17) Kamu tahu, jantungku tidak sembarangan berdetak, dia cenderung lebih cepat, tiap kal...