Kamu, yang selama ini kuperhatikan diam-diam, mendadak menyapaku. Bisa kamu bayangkan seperti apa rasanya?
Trinity melompat turun begitu mobil ayahnya berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Hari ini tumben sekali dia ikut ayahnya yang harus pagi-pagi sekali berangkat ke kantor karena tak ingin terjebak kemacetan. Akibatnya, baru pukul enam lewat beberapa menit, dia sudah sampai di sekolahnya yang masih terlihat sepi.
"Pagi banget sudah datang, Mbak Trin," sapa Pak Agus, satpam sekolah yang sudah harus membuka pintu gerbang tepat pukul enam pagi.
Semua anak perempuan di sekolah ini dipanggilnya "Mbak", sedangkan anak lelaki disebutnya "Mas", Pak Agus bilang, sebagai tanda dia menghargai murid-murid di sini.
"Hehehe, iya, Pak. Sekalian nebeng mobil ayah. Saya murid pertama yang datang, Pak?"
"Nomor satu. Rekor Mas Neo terpecahkan."
GLEKK. Mendadak bulu kuduk Trinity meremang mendengar nama itu disebut.
"Wah, bakal dicopot gelarnya sebagai murid teladan semester depan," canda Trinity lalu nyengir lebar.
"Sebentar lagi juga bakalan muncul."
Trinity tersentak, bergegas permisi lalu berjalan cepat ke kelasnya. Pak Parman terlihat sibuk menyapu halaman sekolah. Pintu-pintu kelas sudah dibuka lebar-lebar. Trinity menarik napas lega setelah duduk di kursinya. Hari ini sengaja dia datang sepagi mungkin. Dia ingin memantau, sejauh mana persiapan Reyana, Cecil dan teman-teman perempuannya yang lain dalam usaha melaporkan kecurangan Zaki dan gengnya kemarin. Ya, hanya anak-anak perempuan yang cerewet ingin menuntut keadilan, sementara anak-anak lelaki malas ribut dengan Zaki dan gengnya.
"Trin."
Trinity menoleh, lalu mendongak, keningnya berkerut tanda heran melihat Nina berdiri di sampingnya, memandanginya dengan ekspresi datar. Dia tidak sadar teman satu kelasnya itu sudah ada di dalam. Saat dia masuk tadi, kelas masih kosong. Kapan gadis itu datang?
"Hai, Nin. Elo udah datang juga?" sapa Trinity lalu nyengir lebar, berusaha mencairkan suasana yang mendadak terasa canggung. Tapi usahanya gagal total. Nina bersikap aneh, tidak balas tersenyum, malah memasang ekspresi dingin.
"Elo udah baca pesan gue?" tanyanya, mempertebal tekanan suaranya pada kata 'pesan'.
Mata Trinity menyipit, mencoba mencerna 'pesan' yang dimaksud Nina. Sejujurnya, dia tidak akrab dengan gadis itu. Bahkan dia sering lupa kalau Nina berada di kelas ini. Gadis itu hampir tidak pernah bersuara, seorang introvert yang lebih suka tidak menonjolkan diri. Duduknya di deretan kedua dari belakang di barisan paling kanan. Jadi, pertanyaan Nina barusan benar-benar pertanyaan yang tidak tepat ditujukan padanya.
"Pesan apa ya? Whatsapp? Mm, sori, kayaknya gue belum nyimpen nomor telepon lo."
Nina hanya diam, memandangi Trinity yang masih kebingungan, tatapan matanya membuat Trinity jengah.
"Pesan yang gue tulis di selembar kertas dan gue selipin di buku lo. Gue tau lo baca, gue lihat lo ngambil kertas itu dari buku lo kemarin."
DEGG!!
Mata Trinity membesar tanpa sadar. Jadi, Nina yang kemarin menulis pesan itu untuknya? Bukan Neo?
Trinity mengerjap, memaki dirinya sendiri dalam hati, baru menyadari betapa tindakannya melabrak Neo kemarin sangat memalukan.
"Oh, itu dari lo. Itu maksudnya apa ya? Gue nggak ngerti."
Trinity menahan rasa terkejut menyadari senyum sinis di wajah Nina, baru kali ini dia melihatnya. Selama ini ... entahlah, dia tidak pernah memperhatikan Nina.
"Lo pasti tau maksudnya apa." Singkat jawaban Nina, tapi sanggup membuat jantung Trinity berdetak tak keruan.
"Gue beneran nggak tau." Trinity masih berusaha bertahan, walau sebenarnya dia bisa menebak apa maksud Nina.
Jadi Nina kemarin lihat juga gue nebeng mobil Zaki? batinnya menyesali kesialannya.
"Gue nggak nyangka aja, cewek yang selama ini sok disiplin, idealis, sok paling cerdas, ternyata ..." Nina sengaja memberi jeda pada kalimatnya sebelum melanjutkan,"... bisa curang juga."
Trinity menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan.
"Oke, jadi mau lo sekarang apa? Kalo lo tau apa yang gue lakukan kemarin, terus lo mau minta apa dari gue?"
Lagi-lagi Nina tersenyum sinis.
"Simpel aja, gue minta elo ngajarin gue Matematika, Fisika, Kimia sampai gue paham dan gue boleh nyalin jawaban tugas lo. Kalo lo mau melakukan semua itu, gue nggak akan melaporkan lo ke Pak Sam."
Trinity melotot, mulutnya sudah terbuka, siap menghamburkan kata-kata keberatan, tapi dia urung bersuara ketika melalui ekor matanya melihat Neo melangkah masuk ke dalam kelas, memandangi Trinity dan Nina. Cowok tinggi tegap itu hanya menatap, tidak tersenyum, apalagi menyapa. Melihat sekilas pada Nina, lalu menatap lebih lama pada Trinity, sebelum akhirnya memalingkan muka dan duduk dengan elegan di kursinya.
Trinity menelan ludah, kembali mengalihkan perhatiannya pada Nina.
"Bisa gue jawabnya nanti aja? Pas istirahat?" katanya hampir berbisik.
"Oke, gue tunggu jawaban lo," sahut Nina, masih dengan nada dingin, lalu berbalik dan melangkah ke luar kelas.
Trinity terkesiap. Tak menyangka Nina meninggalkannya hanya berdua Neo. Dia melirik jam tangannya. Masih agak lama bel masuk baru akan berbunyi. Apa yang harus dilakukannya sekarang dalam keadaan hanya berdua Neo di kelas ini? Kenapa anak-anak lain belum ada yang muncul? Duh ...
Trinity menutup mata, mengembuskan napas berat.
Ughh!
Kemarin, saat dia mengejar Neo dan dengan keras kepala tetap menuduh cowok itu yang menyebarkan kabar kecurangan Zaki dan gengnya, Neo sudah tak mau bicara lagi. Tak menggubris semua ucapannya, menganggapnya tidak ada, membuat Trinity merasa kesal bukan main.
Sekarang jelas sudah, memang bukan Neo yang membuat kejadian itu diketahui seisi kelas. Trinity telah salah tuduh. Memalukan sekali. Apakah sebaiknya dia minta maaf pada Neo? Atau lebih baik membalas sikap tak peduli cowok itu?
Jantung Trinity serasa hampir copot, saat dengan tiba-tiba Neo bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arahnya. Gadis itu hanya bisa terbelalak dengan mulut ternganga, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Hingga kemudian dia tertegun saat tangan kiri Neo meletakkan sehelai kertas yang tampak seperti formulir di atas meja tepat di depan Trinity.
"Apaan nih?" tanya Trinity, dengan berani menatap Neo hingga matanya menyipit.
"Aku sarankan kamu ikut ini. Supaya badan kamu terbiasa bergerak. Semoga bisa membantu memperbaiki hasil praktik olahragamu," jawab Neo masih tanpa senyum dan basa-basi.
Kemudian tanpa menunggu Trinity menjawab, cowok itu berbalik dan melangkah santai kembali ke tempat duduknya. Trinity melotot, menahan dongkol, sementara detak jantungnya yang tak keruan belum juga mereda.
"Cowok itu hobi banget sih bikin gue deg-degan!" keluhnya dalam hati.
**=========================**
Hai, Happy Monday! Jumpa lagi teman-teman pembaca. Ini dia nih, jawabannya, siapa si penulis kalimat I know what you did.
Tapi jadi banyak pertanyaan baru nih. Enaknya gimana sikap Trinity ya? Minta maaf sama Neo, gengsi banget. Apa cuekin aja? Tapi siapa sangka cowok sok paling hebat itu memberikan sesuatu buat Trinity. Apakah ini semacam 'clue' kalo Neo tuh sebenarnya perhatian? Ada yang bisa nebak, apaan sih yang dikasih Neo ke Trinity yang bikin detak jantung Trinity berantakan? Pernah nemu mahluk model Neo di sekolah kamu nggak?
Terus ... apa jawaban Trinity untuk ancaman Nina? Nurut gitu? Ih, ogah banget yaa ... tapi nanti dilaporin ke Pak Sam ...
Ups...pertanyaannya banyak banget siiih... nyusun jawabannya dulu deh buat kamis besok. Tungguin yaaa... Kalau ada yang bisa jawab pertanyaan-pertanyaan di atas silakan lho yaa... tapi untuk jawaban benar nggak ada hadiahnya, hehehe
Salam hangat,
Arumi
KAMU SEDANG MEMBACA
Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]
Ficção Adolescente"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fiction (09/5/17) Kamu tahu, jantungku tidak sembarangan berdetak, dia cenderung lebih cepat, tiap kal...