14. Sebuah Permintaan

96.7K 5.5K 350
                                    

Kamu yang pertama kuberitahu rahasiaku ini.

Minggu pagi ini Trinity terlambat bangun. Membuatnya menjadi terburu-buru bersiap berangkat ke sekolahnya untuk latihan karate. Dia melahap roti sarapannya cepat-cepat. Tak memedulikan teguran mama yang menyuruhnya makan pelan-pelan.

Hari ini tak ada lagi Mas Reno yang mengantarnya. Kakaknya itu sudah kembali kuliah dan tinggal di kosnya. Untuk menyingkat waktu, dia memilih naik ojek online karena tidak memungkinkan lagi naik bus. Dia sampai di sekolah pukul tujuh lewat lima belas menit. Masih ada kesempatan berganti pakaian karate. Neo tentu sudah datang. Seperti biasanya, cowok itu menjadi yang pertama datang di sekolah.

Latihan dimulai dengan pemanasan lari keliling lapangan sebanyak dua puluh kali. Lalu sit up, push up, lompat, dan berbagai gerakan lain yang tidak ada kaitannya dengan jurus-jurus karate. Ini juga yang minggu lalu dilakukan Trinity, dan sukses membuat tubuhnya pegal bukan main. Apakah lantas dia menjadi lebih kuat? Tidak juga. Tangan kirinya tetap lemah, tak bisa dia angkat setinggi mungkin ke atas.

Minggu lalu, push up untuk pemula hanya sebanyak sepuluh kali. Hari ini ditambah sebanyak dua puluh lima kali. Trinity mulai merasakan tangan kirinya melemah. Di hitungan ke lima belas, tangan kirinya bergetar, dia meringis menahan sakit, hingga kemudian tangannya itu tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tubuhnya terjatuh lumayan keras, menimpa tangan kirinya, rasanya semakin sakit, barangkali terkilir.

"Aduuh!" teriak Trinity.

Neo langsung melesat maju, tak peduli karateka lain memandanginya dan Sensei melotot padanya.

"Kenapa, Trin?" tanya Neo. Trinity masih meringis, belum sempat menjawab, Sensei sudah bersuara keras menegur Neo. Menyuruhnya kembali ke tempatnya. Tapi Neo nekat menjelaskan Trinity adalah teman sekelasnya, dia yang mengajak ikut klub karate. Jadi, dia merasa bertanggungjawab jika terjadi sesuatu pada Trinity. Sensei memeriksa keadaan tangan kiri Trinity, gadis itu kembali mengaduh.

"Tanganmu sepertinya terkilir. Ya sudah, kamu jangan meneruskan latihan. Silakan menepi. Biar nanti Sensei Yola akan memeriksamu," kata Sensei Pratama.

Neo langsung minta izin diperbolehkan memeriksa Trinity. Karena Neo termasuk senior, akhirnya Sensei Pratama memberinya izin menemani Trinity pulang.

"Maaf, ya. Gara-gara gue, lo jadi nggak bisa latihan. Sebenarnya gue bisa kok pulang sendiri."

"Mana mungkin aku biarkan kamu pulang sendiri dalam keadaan sakit seperti ini."

Trinity tersenyum sinis pada dirinya sendiri.

"Gue memang payah soal olahraga. Udah berusaha nggak payah, tetap aja payah."

"Kenapa tanganmu bisa terkilir?"

"Tangan kiri gue memang lemah," jawab Trinity sambil memandangi pergelangan tangannya yang membiru.

Mereka sudah sampai di lobi sekolah. Trinity tetap mengenakan pakaian karatenya, karena dia tak sanggup berganti pakaian. Neo juga masih mengenakan pakaian karate. Dia membawa tas punggungnya yang berisi pakaian ganti. Siap mengantar Trinity pulang.

"Rumah kamu di daerah mana?" tanya Neo.

"Slipi. Bisa naik trans Jakarta."

"Kita naik taksi online saja. Keadaan kamu begitu jangan naik bus. Biar nanti aku yang bayar. Maaf ya, aku nggak punya kendaraan. Jadi cuma bisa mengantarmu naik taksi," kata Neo.

"Aduh, Neo. Jangan dong, elo jadi repot banget. Lagian, gue yang bikin repot, malah elo yang minta maaf," tolak Trinity.

"Nggak apa-apa. Aku yang mengajakmu ikut karate, kalau terjadi apa-apa sama kamu, aku yang harus bertanggungjawab."

Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang