Perasaan-perasaan aneh mulai bermunculan mengguncang hati.
"Aku langsung balik ya, Trin."
Neo baru saja membayar ongkos taksi online, dia berniat kembali memesannya untuk mengantarnya pulang.
"Eh, kok gitu? Elo ..." Trinity tidak melanjutkan kalimatnya. Setelah berpikir sejenak, rasanya akan aneh sekali kalau dia meminta Neo mampir dulu ke rumahnya, bertemu mamanya. Untuk apa? Itu memang tidak perlu, kan?
"Aku mau balik ke sekolah. Sepertinya aku masih bisa menyusul ikut latihan. Masih ada waktu satu jam lagi," sahut Neo, setelah menunggu agak lama, Trinity tidak juga melanjutkan ucapannya.
"Elo tetap mau latihan?" tanya Trinity sedikit terenyak, tak menyangka Neo berniat kembali ke sekolah.
Neo tersenyum. "Selama masih bisa kenapa nggak?" jawabnya.
"Maaf ya, gue jadi ngerepotin lo."
"Jangan terlalu sering minta maaf."
"Kenapa?"
"Karena itu nggak perlu. Aku yang menyarankan kamu ikut tanpa bertanya dulu bagaimana kondisi kesehatanmu sebenarnya."
Mendadak Trinity tertawa kecil.
"Gue yang nekat, tetap mau ikut padahal nggak yakin mampu."
"Sekarang bagaimana? Kalau tanganmu sudah sembuh, minggu depan tetap mau ikut latihan? Tapi mungkin buat kamu ada beberapa gerakan yang nggak perlu kamu ikuti."
"Memangnya boleh begitu?"
"Belum tahu, nanti kutanya dulu ke Sensei."
Trinity mengangguk. "Cepat balik gih, supaya lo masih bisa ngikutin sisa latihan. Sekali lagi, thanks ya."
"Oke, aku pergi sekarang. Semoga besok tangan kamu sudah lebih baik."
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya Neo berhasil memesan lagi taksi online itu untuk mengantarnya kembali ke sekolah. Trinity masih menunggu di depan pagar sampai mobil yang membawa Neo tak terlihat lagi. Barulah dia melangkah masuk rumah.
"Lho, Trin? Kok sudah pulang? Latihannya nggak jadi?" tanya mama yang baru melangkah ke ruang tamu saat mendengar suara pintu dibuka. Memandang heran kepada Trinity yang baru muncul dari balik pintu.
"Ada kecelakaan kecil, Ma," jawab Trinity.
"Eh? Kecelakaan kecil apa?" tanya mamanya, wajahnya berubah panik.
"Nggak masalah, cuma insiden nggak ada artinya."
"Kalau memang nggak ada artinya, nggak mungkin kamu pulang sebelum latihannya selesai. Kecelakaan apa? Kamu cidera nggak?"
"Pergelangan tangan kiriku keseleo saat tadi pemanasan."
Bu Prita langsung memandangi tangan kiri Trinity dengan raut cemas, meraih tangan anak gadisnya itu.
"Aaaw! Sakit, Ma!"
"Wah, sampai biru begini. Harus diurut nih. Biar mama panggil tukang urut langganan mama."
"Aduh, nggak usah deh, Ma. Nanti sakit."
"Kalau nggak diurut nggak bakal sembuh. Dan setelah ini, kamu nggak usah ikut karate lagi."
"Nggak bisa begitu dong, Ma."
"Kamu baru ikut dua kali aja udah kecelakaan begini. Ngomong-ngomong tadi kamu pulang naik apa? Tega banget sih pelatih kamu, biarin kamu pulang sendiri."
"Naik taksi online, diantar teman."
"Siapa? Kenapa teman kamu nggak masuk? Kok nggak sopan banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Listen To My Heartbeat [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Nggak boleh ya, suka kamu dan dia?" By Arumi E. #3 in Teen Fiction (21/2/17) #3 in Teen Fiction (02/3/17) #3 in Teen Fiction (06/5/17) #3 in Teen Fiction (09/5/17) Kamu tahu, jantungku tidak sembarangan berdetak, dia cenderung lebih cepat, tiap kal...