3:: Bumerang

220 36 22
                                    

Tiga kata dari lisan Ricky membuat Ezra dan Arfan menoleh. Sepertinya daya serap mereka sedang lemah sehingga susah untuk mencerna tiga kata barusan. "Lo bilang apa, Rick?" Ezra menatap sahabatnya itu. Mencoba menebak perasaan apa yang sedang mengganggu sahabatnya.

"Tasya balik Zra, dia udah pulang."

Arfan sudah berhasil mencerna kalimat itu."Dia udah pulang? Dia pulang bawa apa Rick? Bawa hati lo pergi terus balikin lagi dalam keadaan pecah gitu?" Sarkas Arfan yang juga terlihat emosi. Tinggalah Ezra yang anehnya tidak memasang ekspresi apapun. Bahkan ia tidak tersulut emosi.

Ricky menggeleng lemah. "Nggak tau deh. Gue udah capek, dia ngirim gue pesan kalo dia udah ada di apartmentnya yang dulu. Itu artinya dia ada di sebelah apartment gue kan? Dia mau apa coba?" Arfan dan giginya yang bergemeletuk bangkit, "Cewek kayak dia ga bisa di kasihanin, harus di kerasin. Ricky 'kan udah prioritasin dia, tapi apa yang dilakuin Tasya itu beda banget. Dia malah pindah ke Australia. Dan sekarang-"

"Udah Fan, biarin Ricky nentuin keputusannya." Potong Ezra cepat dan dingin. Sepertinya ia bisa tiba-tiba dewasa dalam waktu yang genting. Arfan kembali terduduk dan menghela napas. Di liriknya Ricky yang tengah termenung. Kemudian matanya jatuh pada Baso Tahu yang tinggal tersisa satu siomay. Tanpa ragu ia mengambil garpu dam memakan siomay malang itu.

"Arfan!" Ezra kini meneriaki namanya. Ia yang tertangkap basah pun hanya bisa cengengesan. "Apa Ja?" Ezra hanya bisa mendengus dan tidak menjawab. "Eja jangan marah, 'kan ini siomay Ricky. Kok Eja yang marah sih?" Ezra mengendik jijik. Sementara Arfan tertawa lepas.

◊◊◊

"Lo yakin Zra?" Ezra menghela napas, entah sudah yang keberapa kali anggotanya bertanya seperti itu. Setelah ultimatum yang di keluarkan Ezra untuk Darrel, kini keduanya sepakat untuk bertemu di lapangan belakang sekolah. "Udah, mendingan lo ngumpet buruan!" Ezra mulai memundurkan motornya kemudian bergegas menuju lapangan.

Senyuman miring tercetak, ketika Ezra melihat Darrel yang sedang duduk di atas motor sambil menghisap satu batang rokok. Ia sedikit memberikan free style saat memarkirkan motornya. Darrel tak mau kalah, ia membuang putung rokoknya itu dan bangkit.

"Ada yang udah siap kalah nih!" Ejek Darrel. Mungkin bisa di bilang sifat buruk, rasa percaya dirinya jauh lebih tinggi dari rata-rata manusia. Ezra menutup telinganya ia datang ke sini hanya untuk balas dendam.

"Udahlah, kita selesaiin sekarang juga, satu lawan satu!" Tegas Ezra dengan kepalan tangannya.

◊◊◊

Bersama angin ia memacu waktu. Rasa puas memenuhi rongga dadanya, seakan ia menemukan kebahagian hakiki. Lebam yang melekat kini perlahan memudar terganti dengan rasa senangnya. Dengan langkah yang mantap, Ezra bergerak menuju 2 anak adam itu.

"Emang masih jaman ya geng-gengan!"

Kepalanya tertoleh ke sumber suara. Niatnya menuju Ricky dan Arfan terhenti. Johan, ketua Organisasi Intra Sekolah yang kini duduk di bangku XII B IPA-2 menatapnya sekilas yang baru saja memarkirkan motornya.

Ezra kembali acuh dan mengendikkan bahu seraya menghampiri Arfan yang lebih dulu menyapanya. Kemenangannya atas Darrel kemarin dirasanya belum cukup. Kali ini Nirwana harus melirik tantangan dari anak SMA sebelah. Dan tentu saja, dengan senang hati diterima.

"Si Johan sok suci banget! Mentang-mentang nggak bisa nandingin lo, jadi gitu dia!" Arfan menaruh sikunya di pundak Ezra sambil memperhatikan punggung Johan yang semakin lama menjauh.

"Oh iya, gimana kemaren?" Ricky menyahut. Meskipun dengan nada ringan, dari tatapannya terlihat ia sedang bersedih.

Ezra mengambil langkah ke depan untuk segera masuk ke dalam kelas. Bukan apa-apa hanya beban tas punggungnya di tambah tangan Arfan membuatnya sedikit keberatan. Ezra menceritakan kejadian kemarin sambil berjalan menuju warung belakang koperasi.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang