Mobil yang ditumpangi Feby dan Antony sampai di sebuah gerbang. Feby sudah berani menaiki mobil ayahnya. Traumanya hilang dan di gantikan semangat dan harapan barunya. SMA Semesta 11, Feby belum pernah mendengar nama sekolah itu sebelumnya, dan ia tidak keberatan jika harus di tempatkan di sana. Meski berbeda dengan Labschool Feby cukup antusias dengan hari pertamanya mengenakan putih abu-abu.
"Hati-hati ya, anak papa." Antony menoleh memperhatikan wajah Feby yang cerah tidak seperti biasanya. Kemudian ia mengusap rambut putrinya perlahan. Feby sadar, ia harus menutupi alat di belakang telinganya. Ia menurunkan beberapa helai rambut dari daun telinganya. Antony sempat bingung, tapi kemudian ia tersenyum. "Nggak apa-apa."
◊◊◊
Operasi berikutnya, Feby diberikan alat yang lebih kecil untuk di pasang di kedua telinganya. Dan baiknya, alat itu bisa ia lepas-pasang. Biasanya, Feby melepas alat itu saat tidur. Feby bisa sedikit mendengar dengan alat itu, meski terdengar sangat kecil.
Bersyukur, ia ditempatkan di kelas yang tidak populer sebut saja begitu. Dengan begitu ia tidak perlu malu atau khawatir. Sungguh, ia bersyukur.
Sekitar seminggu ia bisa berbaur dengan lingkungan sekolah barunya itu. Tepatnya saat pertandingan futsal di lapangan, banyak sekali murid yang menonton. Ia tidak begitu tertarik, tapi ia mendengar teriakan yang menyebut nama seseorang sampai telinganya berdengung. Dengan begitu Feby langsung berlari menjauhi keributan.
Ia masih ingat siapa nama itu. Ezra, mungkin menjadi nama penting bagi Feby. Setelah mencari tahu, Ezra bisa di bilang siswa berpengaruh di sekolah itu, dan Feby mengerti.
◊◊◊
Paginya, Ezra bangun. Kamarnya tidak lupa ia kunci seperti biasanya. Orangtuanya sedang berada di luar kota.
"Papa sama Mama besok pagi-pagi mau berangkat,"
"Hah?"
"Papa sama Mama besok pagi-pagi mau berangkat!"
"Oh iya, pagi-pagi kan?"
"Subuh!"
"Iya-iya."
"Ke luar kota!"
"Hm,"
"Kamu jangan nakal!"
Mungkin sebuah keuntungan besar bagi Ezra pribadi. Dirinya tidak perlu buru-buru pulang ke rumah. Apalagi besok adalah hari Sabtu.
"Bi!" Ezra memanggil sambil menepuk pundak Bi Asti yang sedang membersihkan meja makan.
"Aduh! Bibi bisa jantungan tadi." Ezra terkekeh sebentar kemudian melirik nasi goreng di atas meja makan.
"Buat saya?" Ezra menaikan sebelah alisnya. Bi Asti langsung mengambil gelas dan menaruhnya di samping piring nasi goreng untuk Ezra.
"Iya, tadi di suruh nyonya. Ayo, di makan nanti telat."
"Oh, di suruh Emak." Bisik Ezra lirih sambil duduk menghadap piring nasi goreng.
◊◊◊
"Ezra, di cariin orang tuh!" Teriak Petra yang baru saja masuk ke kelas. Ezra menoleh pada Arfan dan Ricky yang sama bingungnya.
"Gue ikut," Arfan langsung bangkit, tapi Ezra menahannya.
"Nggak, kalian di sini aja." Ezra turun dari atas meja dan berjalan ke arah pintu kelas.
Sampai di sana, ia melihat sekitar. Ternyata ada beberapa siswi yang sedang berkumpul di depan kelas. "Eh, ada Ezra!" Satu dia antara mereka berbisik. Ezra tersenyum pada mereka namun raut wajahnya terlihat bingung.
"Kami semua mendukung Ezra jadi calon ketua OSIS tahun ini!" Satu dari mereka yang lain antusias memberitahukan informasi pada Ezra. Informasi yang salah di dengarnya.
Hah? Ketua OSIS? Gue?
Ezra berdeham sejenak menyadarkan dirinya. "Maaf, ketua OSIS?" Ezra belum yakin. Kalau-kalau ternyata ia salah dengar.
"Iya, seminggu lagi ada pemilihan Ketua OSIS. Siapa aja boleh ikutan, dan kami mendukung Ezra."
"Tapi gue kan bukan anggota OSIS?" Ezra mulai bergerak tidak nyaman.
"Ya, kita-kita sih udah liat daftarnya di sana!" Salah satu dari mereka menunjuk salah satu dinding yang terdapat pemberitahuan.
Si Johan, maunya apa?
Tapi tidak sengaja matanya menangkap seorang siswi yang terlihat terkejut karena salah paham dengan sesuatu yang ditunjuk. Ezra mengulum senyum. "Oh, iya makasih."
Dengan begitu Ezra melangkah meninggalkan sekelompok siswi tadi. Langkahnya lurus menuju Feby yang kebingungan.
"Hai," Ezra mengisyaratkan tangan yang dilambaikan.
Feby masih diam sampai Ezra benar-benar tepat di depannya. Feby mengerjap-ngerjapkan matanya kemudian tersenyum tipis.
"Tumben ke kantin." Gumam Ezra, karena tadi ia tidak menemukan Feby di tempat biasanya. Ezra berasumsi seperti itu karena Feby datang dari arah kantin.
Feby hanya tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. Di dalam hatinya ia senang. Mendengar kenyataan bahwa Ezra diam-diam tahu keberadaannya dan pasti mengira Feby tidak mendengar gumaman Ezra yang bisa di bilang dapat terdengar.
Sedetik kemudian Ezra sadar. "Eh, lo bisa denger ucapan gue?!" Ezra berteriak antusias dan mengundang perhatian di sekelilingnya. Ezra menoleh dan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya untuk 'peace'
Sementara itu, Feby kesusahan mengatur alatnya agar tidak berbunyi nyaring. Ezra menyadari perubahan Feby dan langsung panik. Ia bergerak tidak nyaman dan ragu-ragu mengeluarkan suara. Dengan gerakan cepat, Ezra menarik Feby ke suatu tempat.
Siapa sangka, perbuatan itu justru membuat Feby terkejut dan gugup. Belum pernah ada kontak fisik yang dilakukan seperti tadi.
Berhentilah mereka di perpustakaan. Ezra langsung berbalik untuk melihat kondisi Feby. Feby diam dan gugup. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Mereka berada di ruangan yang sepi, hanya beberapa orang saja di dalamnya. Sisanya buku-buku tebal dan rak yang menutupi.
Feby memegang alatnya yang sudah normal seperti semula. Namun ia kembali dikejutkan oleh perlakuan Ezra. Ezra menyibakkan rambut yang berguna untuk menutupi alatnya. Sebagian wajahnya yang tertutup pun terlihat. Jarak keduanya bisa di bilang dekat.
"Masih sakit?" Bisik Ezra, hatinya sedang dilanda penyesalan. "S-sorry," lanjutnya.
Ezra menyadari satu hal; Feby memiliki wajah yang manis dan mata yang bulat kecoklatan. Ia tidak menyadari sebelumnya, karena memang anugrah itu ditutupi oleh Feby.
Feby menggeleng. Belum bisa mengontrol kerja jantungnya.
Ezra tersenyum, ingin rasanya ia berteriak lagi. Tapi ia mengurungkan niatnya dan hanya bisa tersenyum. Senyum yang membuat Feby merasakan desiran darah yang amat cepat.
"Berarti lo juga bisa ngomong?" Ezra menjauhkan wajahnya karena dirasa membuat dirinya merasa panas. Ia juga melepaskan tangannya dari kepala Feby. Dan menetralkan perasaannya.
Kali ini Feby menggeleng lemah. Kemudian membenarkan rambutnya lagi.
Ezra diam.
Feby diam.
Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
◊◊◊
"Si Ezra kemana sih?" Arfan bertanya.
"Nggak tau tuh, tadi sih gue liat bareng cewek gitu." Ricky menjawab sambil mengelap kacamatanya.
"Cewek?" Arfan mengulang, tidak yakin dengan ucapan Ricky.
"Iya, baru aja." Ricky tidak memandang Arfan, tapi ia tahu temannya itu sedang berjalan ke arahnya.
"Oh iya, sejak kapan lo pake kacamata? Tadi perasaan nggak."
"Sejak firaun naik ojek!"
"Yeee!"
_____
Hi or hey smw
vomments ya klo suka, hihi

KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity [✓]
ספרות נוערSerenity (n) : the state of being calm, peaceful, and untroubled. Tapi, 'ketenangan' seperti apa? Sang puan hanya menahan pilu, berharap mampu mengucap rindu. Sang pangeran tertawa semu, tak bisa lupa akan masa lalu. Dua pemuda yang masih beradu, be...